Senin, 25 Oktober 2010

Tanjung Priok, Luka Lama Tersiram Cuka




INI merupakan kali kedua dalam rentang sejarah. Langit Tanjung Priuk membara, darah berceceran. Sipil dan militer berhadap-hadapan. Kalau saat ini pemicunya adalah makam seorang tokoh agama yang hendak dibongkar. Dulu lebih ekstrim lagi. Rumah ibadah diinjak-injak dan dilecehkan. Mari menghidupkan syaraf ingat kita. Menembus lorong waktu.

Kala itu lipatan kalender menunjukkan angka 1984. Senin, 10 September 1984. Seorang oknum TNI, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan umat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushala diciduk Kodim.

Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat. Malah mereka memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang ikhwan yang ditahan itu, dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.

Rabu, 12 September 1984, Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll.

Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, "Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini".
Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, "Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?" Dijawab oleh massa, "Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !"

Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma' Allah dan Al-Qur'an. Amir Biki berpesan, "Yang merusak bukan teman kita !"

Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara). Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara.

Mereka mundur dua langkah, lalu ... astaghfirullah ! Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan.

Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.

Kini kalender menunjukkan 14 April 2010. Langit Tanjung Priuk memerah, bumi Priuk banjir darah. Padahal luka lama itu belum sepenuhnya sembuh. Luka lama itu kembali tersiram cuka. Perih. [yusuf wibisono]

Jombang, 14 April 2010

Minggu, 24 Oktober 2010

Facegod; Jejaring Sosial untuk Tuhan




SETELAH sukses dengan facebook, tidak ada salahnya Mark Zuckerberg, orang yang pertama kali menciptakan situs jejaring sosial tersebut menciptakan situs baru lagi. Namanya sangat mudah, facegod. Situs pertemanan untuk Tuhan. Kok bisa ?

Situs jejaring sosial facebook bukan hanya merasuk dalam sistem sosial. Namun lebih dari itu. Hubungan dengan Tuhan sekalipun mulai terimbas. Bagaimana tidak, untuk berdoa kepada Tuhan-Nya seseorang kerap menggunakan jejaring itu. Ya, cukup dengan jari kita menari diatas keyboard, muncul sederet tulisan, sekali sentuh, doa kita akan terkirim. Padahal saya yakin, Tuhan tak punya account facebook. Karena tanpa jejaring itu Tuhan sudah tahu doa dan keinginan kita.

Wajar memang, dengan teknologi semuanya menjadi mudah. Untuk sekedar berdoa, tangan kita tidak lagi menengadah keatas, mulut kita tidak lagi komat-kamit merapal mantera. Kepala kita tidak harus menunduk khusuk. Dan kaki kita tidak lagi duduk bersimpuh. Namun bagi saya, hubungan manusia dengan Tuhan tidak bisa disamakan dengan tuts komputer, tidak serupa dengan keypad hand phone, dan tidak bisa disejajarkan dengan kecanggihan Blackberry.

Komunikasi manusia dengan Tuhan adalah hubungan vertikal yang bersifat sakral. Akan tetapi, sering kali saya membaca status di facebook yang isinya berdoa kepada Tuhan. Mulai minta rezeki, minta kesehatan, minta keselamatan, bahkan ada permintaan itu yang dihiasi dengan kutipan ayat suci. Indah dan sah memang. Apalagi, jika doa itu disambut dengan deretan komentar dari orang lain, maka pemilik status itu akan bertepuk dada. Bangga.

Mungkin mereka menganggap jika doa itu disambut dengan deretan komentar akan semakin tinggi tingkat terkabulnya. Omong kosong. Karena, sekali lagi Tuhan tidak punya account facebook. Percuma saja, jika untaian doa yang terangkai indah itu didasari paham ‘Narsisme Religius’. Dalam arti, tujuan kita berdoa hanya ingin agar orang lain tahu bahwa kita adalah manusia yang bertuhan. Kita adalah manusia yang selalu ingat kekuasaan sang pencipta. Ironis. Semoga saja itu hanya asumsi ngawur saya.

Tulisan’iseng’ ini bukan menyalahkan facebook. Karena bukan rahasia lagi, perkembangan teknologi itu selalu punya dampak. Ibarat pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan, satu sisi lagi siap mengancam. Semuanya tergantung kita.

Adalah Mark Zuckerberg, orang yang pertama kali menciptakan situs jejaring sosial ini. Pada 28 Oktober 2003 ia bersama dengan teman kosnya, Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes menciptakan situs pertemanan yang dikhususkan untuk mahasiswa Harvard.

Seiring bergulirnya waktu, situs yang awalnya bernama Facemash ini meluas sampai kampus-kampus lain di daerah Boston area, Ivy League, dan Stanford University. Kemudian, situs ini merambah keanggotaannya mulai dari murid SMA hingga mahasiswa. Bahkan saat ini lebih gila lagi, pengguna jejaring ini sudah lintas profesi. Dalam catatan Wikipedia, anggota facebook yang aktif tembus 350 juta.
Situs jejaring sosial ini dioperasikan dan secara privat dimiliki oleh Facebook, Inc. di Cambridge, Massachusetts, USA. Facebook Inc.

Ia memiliki karyawan lebih dari 900 orang dan meraup pendapatan di atas US$ 300 juta. Cukup fantastis. Dan yang pasti, para mahasiswa Harvard itu juga telah merubah cara berdoa kita. Nah, untuk itu mari kita tunggu para alumni Harvard itu menciptakan situs facegod, yakni semacam facebook yang dikhususkan untuk Tuhan. Sehingga deretan doa yang mejeng di status itu berbalas. Maaf. [yusuf wibisono]

Jombang, 16 April 2010

Gerwani, Artis Seksi, Dan Cleopatra



SOELAMI, Soejinah, dan Lestari adalah deretan nama perempuan yang berpikiran progresif. Mereka menjadi tahanan politik orde baru karena aktif dalam Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi perempuan yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Puluhan tahun mereka tidak punya hak politik. Hak mereka diperkosa oleh penguasa. Bahkan oleh orde baru mereka digambarkan sebagai sosok yang mengerikan.

Julia Perez, Maria Eva, dan Ayu Azhari adalah deretan nama perempuan yang bertubuh seksi. Mereka tidak terlibat dalam gerakan perempuan semacam Gerwani. Hanya karena dianggap gemar mempertontonkan lekuk tubuh seksi, mereka juga terancam ditelanjangi hak politiknya.

Beginilah kalau hidup di negeri tanpa mata angin. Para pemimpinnya kerap saling tabrak karena tak tahu arah. Mereka menentukan arah sesuai dengan kehendak perutnya. Hari ini selatan dikatakan utara, besuknya utara dikatan selatan. Kemarin barat dibilang timur, lusanya timur menjadi barat. Ya, negeri orang-orang bingung.

Sudah tanpa mata angin, negeri ini juga tanpa cahaya. Semuanya gelap. Karena itu, hati-hati jika hidup dinegeri tanpa mata angin. Hak politik bisa hilang sewaktu-waktu. Jika dulu hak politik itu hilang karena seseorang dianggap cacat ideologi. Kali ini lebih gila lagi. Seorang yang dianggap cacat moral bisa dicabut hak politiknya. Benar-benar absurd.

Tentu saja, fenomena itu merupakan sesuatu yang berlebihan. Padahal hak politik merupakan hak yang melekat pada diri manusia semenjak menghirup udara di muka bumi. Setiap orang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Tidak boleh ada pengingkaran. Semuanya sama.

Sejenak kita melayang ke Mesir untuk melihat kisah Cleopatra. Selain sosok yang cerdas, ratu berparas cantik dari Mesir ini juga menggunakan senjata ‘kewanitaan’ untuk mempertahankan tahta dan pengaruhnya. Ia merupakan ratu cantik mempesona yang bisa mempengaruhi tokoh besar Romawi seperti Julius Caesar dan Mark Anthony.


Awal mula menduduki tahta kerajaan Mesir, Cleopatra berusia 18 tahun. Ia digambarkan sebagai gadis belia yang sangat menggairahkan. Tinggi semampai dengan lekuk tubuh menawan, buah dada yang ranum menggoda, kaki jenjang, pinggul padat berisi, wajah bulat telur, rambut hitam mengkilat, dan kulit halus putih berkilau.


Wajahnya memancarkan gairah dan vitalitas, dengan alis sedikit tebal, mata hitam bersinar, bibir seksi dengan sedikit lekukan menawan di bawah hidung, tampak selalu tersenyum, namun menyimpan misteri ‘liar’ menggoda.


Kecantikan wajah dan tubuh ratu yang punya nama lengkap Cleopatra Selene Philopator ini setidaknya sangat berpengaruh terhadap kepemimpinan dan politik yang dilakukannya. Dengan semua ‘senjata kewanitaan’ itu ia berhasil mempertahankan tahta dan kejayaan Mesir dari tekanan imperium besar seperti Romawi. Walau akhirnya Mesir runtuh juga di akhir hayatnya. Cleopatra meninggal di usia 39 tahun pada 30 SM (Sebelum Masehi).

Pun demikian, dalam urusan politik pemerintahan, ia dikenal sebagai wanita yang keras, tegas, dan ambisius. Karisma yang terpancar dari dalam dirinya membuat ia mampu memerintah Mesir selama dua puluh tahun lebih dengan berbagai perkembangan yang mengagumkan. Sebagai wanita yang memegang tampuk kekuasaan dan ibu tiga orang anak, Cleopatra menjalani hidup dengan penuh ketegaran.

Bayangkan, seorang perempuan sendirian memerintah sebuah kawasan besar yang cukup lama menjadi ancaman bagi Romawi. Disamping urusan negara, ia tidak meninggalkan tiga bayinya. Setiap hari ia sibuk bekerja. Mulai dengan sidang kabinet terbatas, bertemu para penasihat, memberi persetujuan atas proyek pembangunan saluran air, atau memeriksa pemasukan pajak negara. Belum lagi menemui tamu-tamu dan para duta besar yang datang.


Lantas apa hubungannya dengan Gerwani dan artis seksi? Nah, bisa jadi sosok Gerwani dan artis seksi itu jika dipadukan akan melahirkan semangat Cleopatra. Ini merupakan kaca benggala bagi para artis yang akhir-akhir ini banyak bermimpi menjadi bupati. Artinya, untuk menjadi pemimpin itu bukan hanya bermodal lekuk tubuh yang aduhai. Namun yang tidak kalah penting adalah pola pikir progresif.

Disamping keberanian dalam membebaskan negeri dari ancaman utang serta korupsi. Juga keseriusan dalam membangun perekonomian rakyat. Popularitas yang hanya didukung lewat manipulasi fisik adalah sesuatu yang semu. Sekali lagi, kisah Cleopatra bisa menjadi cerminan bahwa seorang wanita juga mampu membangun peradaban.


Ironisnya, negara merespon fenomena munculnya artis tersebut dengan latah. Dengan reaksioner Menteri Dalam Negeri akan mengeluarkan aturan tambahan yang intinya calon kepala daerah itu harus punya pengalaman organisasi dan tidak cacat moral. Cacat moral yang dimaksud Pak Menteri salah satunya adalah orang tersebut tidak pernah berbuat mesum dan zina. Padahal siapa yang bisa mengukur moral? Tidak jelas ukurannya.

Masih ingat Pemilu Kada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) di Kabupaten Pekalongan 2006 lalu? Menjelang pemilihan, foto bugil pasangan calon bupati beredar luas. Masyarakat langsung gempar. Banyak yang memprediksi calon yang foto mesumnya beredar itu akan terjungkal dalam pemilihan. Namun diluar dugaan, justru calon tersebut sanggup memenangkan pertarungan.

Tulisan ini bukan bermaksud membela para artis seksi. Namun lebih pada pembelaan wilayah hak asasi. Sudah seharusnya setiap aturan yang disusun dalam Pemilu kada tidak bertabrakan dengan hak politik warganya. Agar tidak terjadi kemunduran proses demokrasi.

Dari pada masuk ke wilayah yang tidak jelas, lebih baik pemerintah melakukan kerja riil. Yakni memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Semisal, memberikan pemahaman bahwasannya memilih pemimpin itu bukan hanya berdasarkan popularitas. Namun ada hal yang lebih penting lagi, yakni melihat program yang diusung si calon tersebut. Bukan lantas membabi buta dengan mencabut hak politik warganya. [yusuf wibisono]

• Tulisan ini dimuat di rubrik sorotan www.beritajatim.com, 19 April 2010

;;Kurusetra Industri::



INI bukan bukan padang Kurusetra, tempat Pandawa dan Kurawa berebut tahta. Juga bukan film laga India, dimana para pemainnya asyik berdendang setelah menendang. Bukan pula tiupan seruling untuk menjinakkan ular kobra. Bergoyang, mendesis, meliuk, hingga mematuk. Namun lebih dari itu. Batam adalah ironi. Batam adalah Kurusetra industri. Semuanya berawal dari "All Indonesia are stupid".

Sungguh ‘istimewa’, hanya dengan empat kata berbahasa Inggris, ribuan buruh Drydock mengamuk. Mereka membakar pabrik, membakar mobil, hingga menganiaya warga India.

Padahal, kata-kata “All Indonesia are stupid" bukanlah mantra sakti yang mampu menghipnotis. Ia hanya rangkaian kata biasa. Namun mengapa rangkaian 21 alphabet itu sanggup menyulut emosi para pekerja? Jawabnya sederhana, karena kata-kata itu lahir dari rahim industrialisasi. Lahir dari proses ketimpangan dan kemiskinan.

Selama ini Batam ibarat surga bagi para pekerja. Semua itu semakin klop dengan tingginya angka pengangguran di negeri ini. Wajah kota yang berbatasan dengan negera tetangga ini merias diri dengan bedak industri.

Sehingga muncul asumsi berangkat ke Batam adalah solusi. Pekerjaan dapat, uang pun tak akan tercekat.

Namun ironis, realitas di lapangan berbicara lain. Kita selalu membayangkan dengan adanya industrialisasi rumah berdinding bambu bisa berubah menjadi rumah beton dalam sekejab. Hanya dengan kata sim salabim. Omong kosong. Karena ini bukan panggung sulap.

Industrialisasi adalah keping mata uang yang bernilai ganda. Ia mampu melahirkan berbagai paradoks, salah satunya adalah perbedaan ekonomi. Kondisi ini sebenarnya sudah tercium tiga tahun yang lalu. Berdasarkan data di pemerintahan propinsi Kepri (Kepulauan Riau), angka kemiskinan dan pengangguran berada diatas nasional.

Dengan rincian, angka tingkat kemiskinan sebesar 21 persen, padahal kemiskinan secara nasional hanya 17,2 persen. Sedangkan angka pengangguran Propinsi Kepri mencapai 10,8 persen sementara secara nasional hanya 9,8 persen. Batam, Tanjung Pinang, dan sejumlah kota lainnya adalah wilayah yang masuk dalam propinsi tersebut.

Nah, dari situlah Batam menjadi ironi. Pada satu sisi ia terus merias wajah kota, namun pada sisi lain kemiskinan terus melanda. Pendek kata, dibalik pesonanya, ternyata Batam mengidap ‘sakit jiwa’.

Kondisi itu semakin kronis ketika para buruh tidak pernah dimanusiakan. Dalam arti, buruh hanya diperlakukan sebagai bawahan saja. Akibatnya, rasa kecewa, terpinggirkan, dan jengkel tersebut menggumpal hingga berubah menjadi bom waktu.

Gayung pun bersambut. Ketika bom itu menuggu pemantiknya, datanglah warga India. Dengan sekali ucap ‘All Indonesia are stupid’ bom waktu itupun meledak. Kerusuhan pecah. Drydock berubah menjadi merah.

Sekitar 20 mobil dibakar massa yang marah. Kantor dan gudang barang pun tak luput dari aksi kemarahan mereka. Sedikitnya 40 tenaga kerja asing terpaksa dievakuasi melalui jalur laut. Mereka menjadi sasaran amuk ribuan karyawan galangan kapal PT Naninda, Batam.

Ternyata,industrialisasi belum sepenuhnya menjadi kata sakti dalam menjawab kesenjangan dan kemiskinan. Justru sebaliknya, industrialisasi berpengaruh negatif terhadap keadilan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Ketika lahir, Batam didesign sebagai kawasan industri, namun dalam perkembangannya ia menjelma menjadi Kurusetra industri. Padang luas pembantaian ekonomi.[yusuf wibisono]

*Rubrik Sorotan www.beritajatim.com 24 April 2010

Puasa dan ‘Keong’ Sosial



Antara puasa Ramadan dan keong jelas tidak ada ada kaitannya. Namun saya sengaja memasang judul itu. Bukannya latah dengan fenomena ‘Keong Racun’ yang menyebar akhir-akhir ini. Namun keong yang saya maksud adalah sebuah perumpamaan dari cangkang yang melindungi hewan avertebrata tersebut. Dengan cangkang, se-ekor keong akan terlindungi dari cuaca dan ancaman. Sehingga mampu membangun daya hidup.

Begitu pula dengan manusia. Ia juga membutuhkan cangkang. Namun yang dibutuhkan oleh manusia adalah cangkang (baca, keong) sosial. Jika cangkang sosial itu tumbuh, maka kekuatan yang bisa menggerakkan perubahan akan terwujud. Akan tercipta sebuah kondisi saling toleransi, yang kuat melindungi yang lemah. Ya, bergandeng tangan dalam solidaritas sosial.

Lantas apa hubungannya dengan puasa Ramadan? Menunaikan ibadah puasa sebenarnya memiliki makna yang sangat luas. Tidak cukup kiranya hanya menafsirkan ibadah puasa sebagai kegiatan ritual semata. Lebih dari itu.

Selama ini seringkali kita memaknai puasa dalam bingkai relatif sempit. Dimana puasa hanya dimaknai secara vertikal. Dalam arti, sebuah garis lurus yang ditarik keatas, yakni hubungan kita dengan sang Pencipta yang telah menjanjikan pahala. Dalam tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar puasa dalam artian itu. Sudah terlalu banyak yang mengupasnya.

Satu hal tidak kalah penting dalam ibadah puasa adalah makna horizontal yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, dalam ibadah puasa juga terdapat hubungan kita dengan “kita” yang lainnya. Jadi ada dua kutub dalam ibadah puasa yang selalu berjalan seiring. Dua hal itu dalam ajaran Islam kerap disebut Habluminallah dan Habluminannas.

Upaya yang dilakukan orang berpuasa adalah menahan lapar dan haus sejak fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan sebelum bulan Ramadan berakhir, kita juga diwajibakan untuk membayar zakat. Hal itu sebenarnya sebagai alarm agar kita selalu ingat akan penderitaan orang lain. Merasakan lapar dan haus sayogyanya memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan kaum papa. Sebab, pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam. Sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir.

Ironisnya, tidak jarang kita berperilaku kurang etis dengan mengatas namakan puasa. Perilaku itu nyata terlihat semisal dengan melambungnya tingkat konsumsi masyarakat pada saat bulan Ramadan. Pendek kata, kita hanya menjadikan waktu berbuka dan sahur sebagai ajang ‘balas dendam’ setelah ‘kelaparan’ sehari penuh.

Padahal, tidak menutup kemungkinan pada saat yang sama, ada jutaan saudara kita yang benar-benar kelaparan. Perut mereka keroncongan bukan saat bulan puasa saja, tetapi juga sebelumnya dan bahkan mungkin juga sesudahnya. Sedangkan kita, saat malam tiba, asyik bersantap dibawah panji konsumerisme. Atau lebih ekstrim lagi, puasa hanya sekedar berubahnya jadwal makan.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya kedatangan bulan Ramadan ini mampu menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas sosial kita kepada kaum dhuafa (kaum lemah) dan kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Apalagi, bangsa ini tengah menghadapi realitas tingginya angka kemiskinan, tak terkecuali di Jombang.
Dalam sebuah kesempatan, bupati Jombang Suyanto pernah mengungkapkan, di kabupaten Jombang masih ada sekitar 72 ribu KK (Kepala Keluarga) yang masuk dalam kategori miskin. Dari jumlah itu ada sebanyak 9.800 rumah tangga tidak layak huni. Kemudian, 1.900 KK yang masuk kategori very poor (sangat miskin). Tidak cukup sampai disitu, bupati juga menyebut bahwa masih ada lagi 32 Ribu KK yang masuk dalam kategori miskin produktif. Dalam arti, meski miskin, mereka masih mampu mengakses pekerjaan.

Artinya, upaya untuk menumbuhkan solidaritas sosial harus terus dilakukan mengingat masih tingginya angka kemiskinan itu. Sebenarnya, tidak terbatas pada bulan Ramadan saja, namun bulan suci ini hanya sebagai gerbang untuk menumbuh kembangkan solidaritas tersebut. Nah, jika sudah demikian, maka ibadah puasa bukan hanya mengejar kesalehan pribadi namun juga berjalan seirama dengan kesalehan sosial. Nyatalah kemudian bahwa kita berpuasa bukan semata linear urusan vertikal transendental, tapi juga horisontal sosial.

Atau, meminjam istilahnya Abdul Munir Mulkhan, substansi puasa ialah pengendalian diri baik secara fisik maupun spiritual dengan maksud pengembangan fungsi sosial bagi kepentingan orang banyak yang lebih membutuhkan. Selamat berpuasa. [Yusuf Wibisono]

*Tulisan ini dimuat di Harian Radar Mojokerto (Jawa Pos Group), Sabtu (28/8/2010) di rubrik Kalam Ramadan

Kamis, 21 Oktober 2010

Ponari Putra Petir


SEPEKAN terakhir ini ada fenomena menarik yang muncul dari kota santri Jombang. Yakni, seorang bocah yang masih duduk di kelas III SD.

Bocah yang tinggal di Dusun Kedungsari Desa Balongsari Kecamatan Megaluh ini sejak kecil hidup dalam himpitan kemiskinan. Ia adalah Muhammad Ponari.

Ia mampu menjadi magnet bagi orang yang menderita penyakit. Mereka yang datang rata-rata percaya bahwa penyakitnya akan berangsur sembuh usai meminum air yang sudah dicelupkan batu lonjong berwarna coklat yang katanya bertuah milik bocah tersebut.

Tak pelak, setiap hari rumah milik keluarga Ponari yang terbuat dari bambu dan berlantai tanah selalu dikerubuti massa. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai puluhan ribu.

Lumrah memang. Karena dalam memberikan pengobatan, anak pasangan Komsin dan Mukaromah ini tidak menarik bayaran. Ia hanya menyediakan kotak amal jika ada yang ingin memberikan ucapan terima kasih, jumlahnya pun tidak boleh lebih dari Rp 15 ribu.

Pro–kontra seputar Ponari pun bermunculan. Para ulama di Jombang khawatir cara pengobatan Ponari bisa menyeret kearah syirik. Lain lagi dengan kaca mata para dokter, mereka melihat cara pengobatan bocah yang masih lugu itu tidak ilmiah. Sedangkan kelompok paranormal mengigau bahwa Ponari adalah titisan Ki Ageng Selo, pendekar penjinak petir.

Terlepas dari itu semua, seharusnya kita lebih peka terhadap sesuatu yang bisa diraba dengan mata telanjang. Satu hal yang membuat kening kita berkerut, rata-rata yang datang ke Dusun Kedungsari dan berharap kesembuhan dari Ponari adalah mereka yang garis ekonominya menengah kebawah.

Selain itu, mereka juga sudah frustasi dengan pengobatan medis. Singkat kata, rakyat miskin sudah tidak mampu lagi merogoh kantung karena mahalnya biaya dokter dan mahalnya harga obat. Alhasil, ditengah kondisi tersebut munculah sosok Ponari dengan batu 'saktinya'.

Tak ayal, kehadirannya ibarat oase yang berada di tengah padang pasir. Puluhan ribu orang langsung menyemut menantikan tetesan air 'sakti'. Ponari pun menjadi magnet bagi mereka.

Memang, biaya untuk berobat kita saat ini terus meroket. Lebih ironis lagi, sudah mahal jumlah dokter juga sangat terbatas. Tenaga medis ini hanya ada di wilayah kecamatan. Artinya, ribuan orang yang tersebar di area satu kecamatan hanya dilayani oleh satu orang dokter. Bagaimana bisa rakyat miskin yang hidup terpencil mendapat pelayanan dari seorang dokter secara cepat dan intensif ?

Jawabannya dapat ditebak, mereka harus siap kehilangan hak kesehatannya. Dan pada akhirnya, penduduk miskin tidak lagi ada sandaran untuk menikmati hidup sehat. Nah, jika sudah demikian, apakah pembangunan sektor kesehatan sudah pro rakyat?

Jika kita mau jujur, berbicara masalah kesehatan yang pro rakyat tidak bisa hanya dinilai dari selembar kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin) dan menjamurnya Puskesmas. Tetapi juga harus memikirkan akses jalan yang rusak dan tidak layak untuk dilewati. Apagunanya kita punya ribuan rumah sakit dengan peralatan serba canggih dan biayanya murah, namun untuk menuju tempat tersebut sulit ditempuh.

Sangat naif jika hak rakyat untuk menikmati hidup sehat hanya direalisasikan dengan selembar kartu Jamkesmas. Sebuah kebijakan pragmatis. Sudah selayaknya kita belajar dari negerinya Fidel Castro, Kuba. Pembangunan sektor kesehatan di negeri penghasil tebu ini lebih santun. Mereka memberlakukan medicos familiars atau dokter keluarga. Artinya, satu orang dokter bertanggungjawab atas satu kampung. Setiap hari para dokter ini berkeliling untuk memantau kesehatan warganya. Sehingga setiap ada keluhan dari masyarakat terkait kesehatan selalu terpantau.

Munculnya fenomena Ponari dengan batu 'saktinya' minimal harus menjadi kaca benggala atas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Masih segar dalam ingatan kita, gara-gara berdesakan untuk mendapat kesembuhan dari dukun cilik itu, dua orang manusia meregang nyawa. Sekali lagi, ini adalah cambuk bagi sistem kesehatan yang tidak pro rakyat. Atau kita harus menunggu Ponari-Ponari lainnya dengan korban yang lebih besar lagi? Semoga. (yusuf wibisono)

Jombang, 17 Februari 2009

Senin, 18 Oktober 2010

;;Kisah Baha’i Tetangga Saya;;

Ada yang mengejutkan akhir-akhir ini. Sebuah agama ‘baru’ muncul di Tulungagung. Lebih dari 100 orang warga Tulungagung kesengsem dengan agama yang bernama Baha’i itu. Seperti yang sudah-sudah, pro-kontra langsung bermunculan. Kata-kata sesat kembali mengemuka. Aku sendiri tidak begitu tertarik dengan semua itu. Aku hanya berpikir, warga Baha’i lebih gentle dibanding sejumlah aliran yang di beri embel-embel sesat sebelumnya.

Betapa tidak, ajaran yang muncul dari Iran pada abad 19 ini berani memproklamirkan diri sebagai agama. Tidak seperti aliran yang pernah ada sebelumnya. Meski ajaran beda, namun mereka tetap menempel pada agama terbesar di Indonesia, yakni Islam. Ya, semisal aliran Ahamdiyah. Sebuah aliran yang beberapa waktu lalu juga menyita perhatian publik. Memang susah hidup di jaman seperti ini, memeluk agama salah, tak beragama bertambah salah.

Saya sendiri tidak tahu banyak tentang Baha’i. Dan kebetulan, saya memang tidak kesengsem untuk mencarinya. Ketika perdebatan soal agama yang berkiblat pada gunung Caramel di Israel itu mengemuka, saya justru ingat seorang tetangga yang bernama Baha’i. Orangnya sederhana, warga di kampung biasa memanggilnya Kang Bahak.

Kang Bahak sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Namun warga desa tetap terkenang dengan sosok yang jujur dan polos ini. Aku tidak akan menceritakan bagaimana Kang Bahak meninggal. Tapi aku lebih senang menceritakan saat Kang Bahak masih hidup. Saat dia sering datang ke surau dekat rumahku. Mengisi kamar mandi untuk wudhu, memukul kentongan sebagai pertanda waktu shalat, mengumandangkan adzan, serta menyalakan lampu petromak untuk penerangan bocah mengaji. Dia tidak pernah berkeluh kesah, apa yang dilakukannya selalu ikhlas.

Aku masih ingat. Sore itu, senja mulai merayap. Dengan sarung sedikit mlorot, Kang Bahak duduk di surau samping rumahku. Ia menunggu datangnya magrib. Tak lama berselang, Mbah Jaet datang menghampiri. Kakekku yang menjadi imam di surau itu sangat hafal, jika Kang Bahak datang sebelum magrib berarti lagi di dera masalah.

Dugaan itu tidak meleset. Begitu ia dekat Kang Bahak, Mbah Jaet langsung dihujani grundelan. Kang Bahak menceritakan bahwa baru saja belajar mengaji di rumah wak kaji kampung sebelah. Namun bukan ilmu yang ia dapat, pria yang ingin belajar agama ini justru mendapatkan dosa. Mbah Jaet, mengernyitkan kening. Tak paham apa yang dikatakan tetangganya itu.

Kata Kang Bahak, ia disuruh menghafal surat Al-Fatihah oleh wak kaji. Namun hingga diulang puluhan kali, lafal yang diucapkannya tak pernah benar. Permasalahannya sederhana. Kang Bahak tak bisa mengucapkan huruf ‘ain. Giliran huruf ‘ain, ia selalu melafalkannya dengan ‘ngain. Maklum, lidah Kang Bahak produksi Jawa tulen. Melihat muridnya yang sulit di ajari, wak kaji hilang kesabaran. Kang Bahak di briefing secara khusus. Acara belajar mengaji di pending sementara waktu. Wak kaji mengingatkan bahwasannya mengucapkan lafal dalam Al-Quran tidak boleh keliru. Harus sesuai dengan mahraj dan tajwid.

Alasannya, salah mengucapkan bisa berdampak pada salah pengartian. Jika sudah demikian, maka bisa mengakibatkan dosa. Mendapat teguran itu, Kang Bahak langsung merinding. Ia buru-buru menggulung sarung, balik kanan, kemudian pulang. Sampai-sampai Kang Bahak lupa untuk sekedar mengucap salam. Sepanjang perjalanan hati kecilnya protes, kok bisa? Ingin berbuat baik kok malah mendapatkan dosa.

Mbah Jaet yang mendengar cerita itu hanya manggut-manggut. Suasana hening sejenak. Kemudian, dengan suara berat Mbah Jaet angkat bicara. Ia menenangkan kegundahan tetangganya itu. Menurutnya, Gusti Allah tidak membedakan bahasa. Baik itu orang Arab maupun orang Jawa, jika niatnya tulus ikhlas, Insya Allah di ridhoi-Nya. Pendek kata, Mbah Jaet memberi penjelasan kepada Kang Bahak bahwasannya tidak ada diskriminasi bahasa di mata Gusti Allah. “Gusti Allah pasti tahu niat ikhlas sampen Kang,” kata Mbah Jaet menasehati.

Obrolan dua orang itu mendadak terputus ketika kentongan magrib berbunyi. Kang Bahak langsung beranjak. Ia mengambil air wudhu yang ada disebelah surau. Sejurus kemudian sudah terdengar suara adzan dari surau yang sudah rapuh itu. Ya, kumandang suara adzan dengan lafal arab tapi berlogat Jawa. Ternyata kegundahan Kang Bahak sudah terobati.

Semenjak sore itu, tetangga saya yang jujur dan polos ini semakin sering ke surau. Setiap sore, saat senja mulai merayap, Kang Bahak sudah berada di samping rumahku. Mengisi air wudhu, menyalakan lampu petromak, memukul kentongan, serta mengumandangkan suara adzan. Sekali lagi, semuanya ikhlas, tanpa harus merubah ‘ngain menjadi ‘ain. Selamat jalan Kang….!! Semoga sampean tidak pernah tahu bahwa namamu saat ini menjadi nama agama yang diperdebatkan. [yusuf wibisono]

Jombang,28 Oktober 2009

HPN (Semoga) Bukan Hari Peres Nasional


Menyenangkan, menyaksikan begitu banyak organisasi, kelompok, bahkan pribadi yang memperingati Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010. Sebagai pribadi yang menjalani profesi ini sulit untuk tidak mengatakan bahwa profesi ini masih begitu menyedihkan, sebagai sebuah pilihan hidup!

Meski, sebagai pribadi yang telah menjalani hari-hari itu, sangat-sangat bersyukur kepada Tuhan telah memberikan banyak ruang dan waktu yang harus dilintasi dan disaksikan. Melihat orang jatuh dan terbangun. Orang bangkit dan jaya. Atau mereka yang tiba-tiba terlupa dari catatan sejarah!

Peristiwa-peristiwa, ketegangan dan kemudahan, sampai pada pengharapan bahwa anak dan istri masih bisa makan untuk esok hari dari gaji seorang pekerja media, adalah dunia yang berbeda di dalam profesi ini, yang (tentu saja) tak pernah diperingati secara nasional.

Sulit menyebut kata pers, wartawan, atau reporter, ketika sudah membicarakan tentang anak-anak dan istri yang menunggu di rumah. Mereka bukan bagian dari hirup-pikuk politik. Bukan bagian dari ketegangan deadline. Bukan bagian dari ancaman saat pihak-pihak tak suka karena pemberitaan. Bukan bagian dari sekian pasal atau definisi tentang pers yang profesional!

Juga, anak-anak dan istri bukan bagian dari pertanyaan:''Pak, dari siapa uang di amplop yang dibawa pulang ini?'' Sulit menjawab ketika anak dan istri melihat orang-orang telah menjadi bagian penting dari sejarah republik ini, lalu mereka bertanya:''Lho, itu kan teman bapak. Sudah kaya. Sudah jadi menteri. Sudah jadi pejabat. Kok, bapak masih jadi wartawan?''

Tentu, ini juga berbeda dengan kawan-kawan yang beruntung. Karena kekuatan jaringannya, karena posisi keuangan di perusahaannya yang surplus iklan, karena kepandaiannya, mendapatkan penghasilan yang (sangat) layak. Juga, ini berbeda dengan kawan-kawan yang karena profesi ini, kemudian beralih menjadi politisi, pejabat, pengusaha atau bahkan menjadi Direktur Utama PLN. Berbeda. Pers bukan nasib institusi. Pers bukan nasib kelompok. Pers adalah nasib pribadi-pribadi yang digariskan berbeda tiap orangnya.

Jadi, tak perlu ditutupi bahwa masih ada kawan-kawan yang kemudian harus menunggu amplop untuk menambah biaya hidupnya. Atau, mungkin sedikit berbuat kriminal dengan menyebut dirinya sebagai insan pers, wartawan atau apalah namanya yang terkait dengan pekerjaan media agar mendapatkan penghidupan untuk anak-istrinya di rumah.

Itu juga pers. Itu juga wartawan. Itu juga pekerja media. Dan, itu adalah realita. Sekali lagi, menyenangkan menyaksikan begitu banyak organisasi, kelompok atau individu yang memperingati Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010. Di mana, tentu saja, kita tak bisa menutupi mereka yang masih bertahan hidup dengan cara apa saja dari profesi ini. Semua tentu berharap pers Indonesia maju. Pers Indonesia profesional. Pers Indonesia obyektif dan tidak memihak, dan pers Indonesia bukan tukang peres!

Ini hanya refleksi dari perjalanan menjalani pekerjaan ini. Sambil berdoa, semoga anak-anak dan istri tak resah karena pekerjaan bapaknya. Juga, berdoa agar kawan-kawan yang harus kehilangan pekerjaan karena perusahaannya kolaps, standar gajinya rendah, tak punya media yang jelas, terluka karena tugas, menderita karena teror, hilang karena pemberitaan, terbunuh karena pekerjaan, ketrampilan dan pendidikan yang masih belum memenuhi standar karena tak ada kesempatan, kehidupan di bawah standar kesejahteraan normal karena penghasilan, segera mendapatkan perubahan.

Semoga, Tuhan selalu dan tetap memberikan yang terbaik buat pers Indonesia. Dan, memberikan keadilan bagi bagi mereka yang telah berjuang di profesi ini. Semoga, perjalanan sebagai pribadi di profesi ini, mendapat ridho dan ampunan. Amin!

Jombang, 9 Februari 2010

Marsinah 17th Sudah


SELAMAT pagi Marsinah. Hari ini lipatan kalender menunjukkan 9 Mei 2010. Berarti sudah 17 tahun kematianmu. Kematian yang meninggalkan tanda tanya di belantara hukum negeri ini. Kematian yang mengiris luka di wajah perburuhan. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Hingga saat ini, tabir kematianmu tak pernah tersingkap. Semuanya gelap.

Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk, pada 9 Mei 1993. Ia ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuh Marsinah berhias luka bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggulnya hancur , dan di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan. Sebuah kematian yang tragis.

Kematian yang cukup tragis anak pasangan Mastin dan Sumini ini bukan tanpa sebab. Semuanya berawal pada pertengahan April 1993. Saat itu terbit Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat tersebut memuat himbauan kepada para pengusaha agar menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok.

Para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) Sidoarjo—pabrik tempat kerja Marsinah—resah. Selanjutnya pengurus SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Hasilnya, mereka sepakat menggalang kekuatan untuk menuntut kenaikan upah.

Pada 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.

Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Marsinah, gadis desa asal Nganjuk tidak tinggal diam. Dengan tangan terkepal ia berada di barisan depan. Marsinah sadar, ketidak adilan harus dilawan. Namun ironis, keberaninya itulah yang justru mengirimnya ke liang lahat. Tepat 5 Mei 1993 Marsinah menghilang, tidak ada yang tahu kemana perginya buruh pabrik arloji itu. Baru empat hari kemudian Marsinah ditemukan di hutan Desa Jegong Kecamatan Wilangan, Nganjuk dalam keadaan tidak bernyawa.

Selamat Pagi Marsinah. Aku hanya ingin mengabarkan kepadamu. Tepat 1 Mei kemarin perjuanganmu masih diteruskan oleh kaum buruh di seluruh negeri ini. Mereka turun ke jalan untuk memperjuangkan haknya. Jalanan berwarna merah. Se-merah tetes darahmu 17 tahun lalu. Mereka serempak meneriakkan ‘tolak sistem kontrak’.

Nasib mereka masih juga sama masih dengan zamanmu. Yakni, nasib yang hanya dijadikan sekrup kaum kapitalis. Tentang pesangon, tentang upah layak, tentang PHK sepihak, dan hak normatif lain yang selalu terampas. Ya, sebuah ritual penghisapan manusia atas manusia. Ironis memang, ibarat kaset yang diputar ulang, lagu lama itu selalu terdengar setiap tahun.

Kamu tidak percaya? Begini hitungan riilnya, mengacu data yang pernah dipublikasikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik), dalam rentang 10 tahun terakhir, yakni 1999 hingga 2009 rata-rata rasio IHK (Indeks Harga Konsumen) terhadap IUR (Indeks Upah Riil) hanya sebesar 49%. Artinya, dalam rentang itu peningkatan upah yang berlaku hanya mampu untuk mengkompensasi 49% perkembangan harga barang dan jasa. Dengan kata lain, upah buruh hanya mampu untuk memenuhi 49% kebutuhan riil buruh. Lantas sisanya? Entahlah.

Satu lagi Marsinah, memburuknya nasib buruh zaman ini juga disebabkan oleh maraknya sistem kerja kontrak atau yang biasa disebut outsourcing. ‘ Mahluk’ itulah yang kemarin ramai-ramai diteriakkan oleh kaummu. Maklum saja, outsourcing hadir sebagai sistem hubungan kerja yang memberikan kemudahan melakukan perekrutan dan pemecatan. Dengan sistem itu pula buruh tidak dimanusiakan. Karena sistem kontrak lebih tepat untuk barang dagangan.

Selamat Pagi Marsinah. Meski kematianmu 17 tahun sudah, namun nasibmu, nasib kaummu, bahkan nasib negerimu tak kunjung berubah. [yusuf]

Jombang, 9 Mei 2010

Kamis, 11 Maret 2010

:: Kang Gotro Mencari Demokrasi ::

Kaki Kang Gotro terus mengayuh becak usangnya. Desah nafasnya yang ngos-ngosan berpadu dengan suara roda yang melindas batu jalanan. Ia yakin, uang Rp 20 Ribu yang dikantonginya sudah bisa membikin Yu Ginem, istri tercintanya tersenyum. Selanjutnya dapat dipastikan, dapur tukang becak ini akan ngebul. Sambal terasi, ikan asin, siap
untuk disantap.

Tidak seperti dua hari sebelumnya, sudah seharian mencari penumpang, Kang Gotro hanya membawa uang Rp 5 Ribu. Entah apa sebabnya, setiap penumpang yang turun dari bus selalu menggelengkan kepala ketika ditawari naik becaknya. Cobaan belum berhenti sampai disitu. Ketika pulang, uang selembar itu diserahkan kepada istri tercinta. Namun apa yang didapat, protes keras langsung meluncur dari bibir Yu Ginem yang seksi.

Langkah untuk merubah nasib sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh tukang becak ini. Namun semuanya sia-sia. Kang Gotro terlalu percaya dengan proses demokrasi. Dengan demokrasi ia yakin rumahnya yang reot bisa berubah menjadi istana. Becak kesayangannya bisa berubah menjadi mobil mewah. Dan tikus yang setiap hari menggerogoti ikan asin miliknya bisa ditumpas habis. Sekali lagi, semuanya hanya ilusi. Sebab, untuk sekedar membeli rokok saja, roda becak Kang Gotro harus berputar.

Harapan perubahan itu sejak empat tahun terakhir ini. Yakni, ketika jampi-jampi demokrasi mulai ditebar. Euforia langsung melanda. Pada tahun pertama digelar Pilkades, tahun kedua Pilbup, tahun ke tiga Pilgub, dan yang terakhir Pileg dan Pilpres. Praktis, sejak empat tahun terakhir itu pula, Kang Gotro terlena dengan banyaknya pil-pil tersebut. Namun ironis, semua hanya menjanjikan, semuanya hanya candu. Hanya berjanji dalam janji.

Pria bertubuh jangkung ini terus mengayuh pedal becaknya. Suara bel becak yang khas sesekali memecah keheningan. Dimata Kang Gotro, demokrasi itu sangat simple, yakni memilih pemimpin secara langsung. Tidak lebih dari itu. Maklum, penarik becak ini hanya tamatan SR alias Sekolah Rakyat. Sebenarnya, saat itu ia ingin melanjutkan sekolah lebih tinggi. Namun apa daya, keluarganya tak punya biaya. Orang tua Kang Gotro hanya seorang penjaja sumbu kompor dan karet kolor.

Dari empat kali proses demokrasi itu pikiran Kang Gotro mulai muncul benang merah. Dalam pilkades misalnya, ia berkesimpulan bahwasannya demokrasi itu sama artinya dengan uang Rp 10 Ribu. Betapa tidak, sehari sebelum pencoblosan, ia di datangi Man Jlitheng. Sembari menyerahkan amplop yang berisi uang Rp 10 Ribu, Man Jlitheng berpesan agar Kang Gotro memilih Tariman Bogel sebagai kades.

"Kalau Pak Tariman jadi kades, rumah sampean akan dibangun. Sudah bukan zamannya lagi rumah berlantai tanah, berdinding bambu. Selain itu, becak usang milik sampean juga akan diganti dengan mobil," kata Man Jlitheng, tim sukses kelas kampung kala itu sambil menghisap rokok kreteknya.

Namun ironis, setelah Tariman Bogel terpilih jadi kades, bahkan masa jabatannya hampir habis. Rumah Kang Gotro tidak berubah, berlantai tanah dan berdinding bambu. Lebih sakit lagi, belakangan ini ia baru mengetahui bahwasannya uang yang pernah diberikan oleh Man Jlitheng itu sebenarnya berjumlah Rp 20 Ribu. Tapi oleh tim sukses kelas kampung ini hanya di berikan sebesar Rp 10 Ribu. Sisanya dikorupsi.

Sedangkan dalam pemilihan bupati dan gubernur, Kang Gotro berkesimpulan bahwasannya demokrasi itu berarti beras 1 kilogram ditambah kaos yang bahannya dari kain penyaring tahu. Masih segar dalam ingatannya. Saat itu lewat tengah malam, Pak Kades membangunkannya dari mimpi. Setelah pintu dibuka Pak Kades menyerah bungkusan. "Jika ingin sejahtera pilih bupati dan gubernur yang gambarnya ada di kaos itu. Ingat !! gambar yang berjenggot. Sebagai awalan ini ada titipan beras," kata Pak Kades setengah berbisik.

Namun lagi-lagi Kang Gotro terlena, meski si jenggot terpilih sebagai kepala daerah, nasib Kang Gotro tak kunjung berubah. Jika penumpang becak sepi dan istrinya tidak bisa beli beras, Kang Gotro tetap saja ngutang sama Haji Manaf dengan bunga berlipat.

Giliran pileg dan pilpres. Demokrasi dalam dua momen ini menurut Kang Gotro tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, bahkan lebih parah. Demokrasi hanyalah sampah. Betapa tidak, disepanjang jalan tumbuh subur berbagai atribut partai. Di-perempatan kota, di tiang listrik, di poskamling, hingga di kantor desa, gambar wakil rakyat menterang. Setelah pesta usai, gambar-gambar itu semakin mengotori wajah kota. Akhirnya semuanya menjadi sampah.

Bagimana dengan pilpres? Bagi Kang Gotro, momen pilpres hanya ajang untuk menebar janji dan menjual gula-gula. Para calon sibuk berdebat di layar di televisi. Tim sukses sibuk membikin program, sambil mulutnya terus terbuka menanti jatuhnya permen demokrasi. Saking kesalnya, dalam pemilihan orang nomor satu di negaranya itu, Kang Gotro lebih memilih menjadi golput. "Kalau pemimpin yang saya pilih tidak amanah, saya takut terkena dosa politik," kata Kang Gotro sembari nyruput kopi di warung Bulik Siti.

Malam terus merayap. Uang Rp 20 Ribu di kantung Kang Gotro masih tersimpan. Hati tukang becak ini bertambah ceria karena dua kelok lagi sampai dirumah. Ia membayangkan, Yu Ginem sudah menyambutnya di depan pintu. Selanjutnya, uang itu akan langsung ia serahkan, dan Yu Ginem tertawa girang.

Lamunan Kang Gotro itu langsung buyar ketika didepannya meluncur mobil mewah dengan kecepatan tinggi. Pria ringkih ini kaget. Ia hilang keseimbangan. Dalam hitungan menit terdengar sebuah benturan keras. Kang Gotro terlempar, becak kesayangannya hancur, mobil mewah kabur.

Sekujur tubuh tukang becak ini bersimbah darah. Matanya sayu,. Perlahan tangan kanannya bergerak merogoh uang yang ia simpan di kantung. Sambil memegangi lembaran rupiah, Kang Gotro berkata lirih, “Ini semua gara-gara demokrasi”. Sejurus kemudian, matanya terkatup. Nafasnya tersengal-sengal. Kemudian lepas. Tukang becak ini mati seiring matinya demokrasi. [yusuf wibisono]

Dulu Mitan Sekarang Elpiji - Dulu Demonstran Sekarang Menteri

Namanya Tarkicuk. Tubuhnya tambun, kepalanya plontos. Aku tidak tahuberapa persis usianya. Namun aku memperkirakan usia Tarkicuk 40 tahun. Di kalangan aktivis 90-an, utamanya di Jombang, nama Tarkicuk tidak asing lagi. Sejumlah poster dan spanduk yang dibawa saat turun jalan adalah hasil karyanya. Pria tambun ini selalu berada dibarisan depan ketika aksi. Pentungan polisi sudah akrab menggebuknya. Dicari-cari intel sudah menjadi langganannya.

Lipatan waktu terus berganti. Roda nasib juga berputar. Sang diktator Soeharto sudah tumbang. Namun nasib Tarkicuk tetap mengambang. Saat kawan seperjuangannya sudah sukses, pria kelahiran Jawa Tengah ini tak banyak berubah. Ia belum punya pekerjaan tetap. Kesehariannya, hanya membantu mertuanya yang membuka warung kecil-kecilan di pinggiran kota. Tarkicuk tetap bertahan dengan kesederhanaannya.

Saat matahari mulai terik ia bercerita, kawannya sesama demonstran banyak yang suskes. Ada yang menjadi sekjen partai, pentolan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), anggota dewan, serta pengusaha. Yang mengagetkan lagi, baru-baru ini ada kawannya yang diangkat menjadi menteri oleh presiden SBY. Padahal, saat menjadi mahasiswa, Tarkicuk-lah yang menggodok dan menggembleng kawannya itu. Mulai dari manajemen aksi hingga teknik berorasi.

"Dulu yang ngajari dia jadi demonstran itu saya. Alhamdulillah, sekarang sudah menjadi menteri. Ibarat kata, dulu mitan sekarang elpiji. Dulu demonstran sekarang menteri," kata Tarkicuk saat menyaksikan pelantikan temannya menjadi menteri lewat layar televisi.

Sambil mengepulkan asap rokok kretek, Tarkicuk melanjutkan ceritanya. Seputar suka duka bersama sang menteri ketika menjadi mahasiswa. Menurutnya, dari dulu temannya itu paling pinter baca peluang. Satu yang tetap ia ingat, sang menteri paling malas jika disuruh membikin spanduk tuntutan. Tapi soal diskusi, kawannya itu paling jago. "Sudah lama saya tidak ketemu. Mungkin sudah lupa. Apalagi sudah jadi menteri," katanya dengan nada pasrah sembari matanya terus memelototi layar televisi.

Meski pandangannya ke arah layar kaca, namun pikiran Tarkicuk mengembara ke masa lalu. Masa ketika ia menjadi kelompok yang kerap disebut agent of chage alias agen perubahan. Saat itu, ia bersama aktivis lainnya selalu menerikkan perlawanan kepada sistem yang menindas. Solidaritas dengan kaum buruh ia bangun, solidaritas dengan kaum tani ia tumbuhkan. "Petani di gusur, buruh ditindas, pers dibungkam, mahasiswa ditangkap. Hanya ada satu kata lawan !!," kata-kata itulah yang selalu berdengung di telinganya.

Pernah satu ketika Tarkicuk di bidik polisi. Sebab ia membuat stiker dan selebaran yang menghina pemerintah. Yakni, soal tindakan aparat yang anarkhis terhadap kaum buruh. Ribuan buruh di hantam dengan popor senjata pada suatu senja. Tarkicuk dan kawan-kawannya tidak terima. Orang kecil ditindas, orang besar kipas-kipas. Darah muda mereka bergejolak. Sumpah Mahasiswa di ucapkan, aksi turun jalan di lakukan., stiker dan pamflet bertebaran. Dan buruh-mahasiswa bergandeng tangan.

Pada satu titik tertentu Tarkicuk sadar, tidak selamanya menjadi mahasiswa. Setelah kuliahnya memakan waktu yang cukup lama, yakni 10 tahun, akhirnya ia ikut wisuda. Ya, gelar sarjana diraihnya dalam waktu 10 tahun. Pensiun dari mahasiswa, kedua orang tuanya bangga. Namun pria yang gemar rokok kretek ini justru merana. Aktivitas tidak ada. Ia pun banting setir ke jalur LSM bersama aktivis lainnya. Karena tidak ada founding yang jelas, akhirnya lembaga itu gulung tikar. Tarkicuk jatuh terkapar.

Seluruh kawannya pergi entah kemana. Ada yang menempuh jalur partai, ada yang membangun lembaga lagi, ada yang membuka usaha konveksi, bahkan ada yang rela menjual ideologi. Tarkicuk patah semangat, ia lebih memilih menikah dengan anak Mbok Ami yang notabene warung makan langganannya. Kesehariannya, ia membantu warung di pinggiran kota itu.

Sebenarnya ia pernah mencoba peruntungan ke partai. Yakni ikut daftar sebagai caleg. Sosialisasi ia lakukan. Poster, stiker, kalender, disebarkan. Harapannya, ia bisa duduk manis di gedung dewan. Selain itu, pihaknya juga bisa menyaingi kesuksesan kawan-kawannya yang lebih dulu menempuh jalur itu. Akan tetapi, roda nasib menggelinding ke arah yang berbeda. Mantan aktivis ini terlempar keluar dan gagal. Tarkicuk membantu mertuanya lagi. Sejak itu nasibnya tidak berubah.

Dari layar kaca, presiden SBY membaca sambutan. Puluhan menteri yang baru dilantik asyik mendengarkan. Mata Tarkicuk tak berkedip melihat acara yang disiarkan secara langsung itu. Ia seolah ingin memberi ucapan selamat kepada kawannya yang sedang duduk di kursi empuk. Sambil menjabat tangannya ia akan berbisik lirih: "Dulu Mitan Sekarang Elpiji". Namun hayalannya itu mendadak buyar ketika mertuanya yang cerwet datang.

Dengan teriakan lantang, Mbok Ami menyuruh menantunya itu untuk mengambil tabung elpiji beserta kompornya ke rumah Pak RT. Maklum, baru dua hari ini kampung Mbok Ami dilewati program konversi dari mitan ke elpiji. Dengan membawa KK (Kartu Kelurga) Tarkicuk langsung berangkat ke rumah Pak RT yang berjarak sekitar 1 Kilometer. Pelantikan menteri di layar televisi ia tinggalkan.

Tak berselang lama, Tarkicuk sudah kembali dengan membawa tabung elpiji ukuran 3 Kg beserta kompornya. Selanjutnya, seluruh peralatan masak itu ia serahkan kepada mertuanya. Sambil memandangi tabung elpiji, hati kecil Tarkicuk kembali berkata,"Dulu Mitan Sekarang Elpiji, Dulu Demonstran Sekarang Menteri,”.

Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Layar televisi perlahan padam, Mbok Ami kembali ke warung, Tarkicuk duduk termenung. Tidak ada Tanya, tidak ada jawab. [Yusuf 2Mao]

Senin, 08 Maret 2010

Rumah di Ujung Gang Itu


Rumah mentereng di ujung gang itu masih tegak berdiri. Halamannya tidak begitu luas, tapi masih cukup untuk menampung puluhan bunga dalam pot. Semuanya berubah.

Mataku terus mengamati rumah itu. Memang banyak yang berubah dibanding sembilan tahun lalu. Dulu,meski bangunanya sederhana, tapi rumah itu kaya makna. Saban hari, nafas perjuangan selalu mendesah dari rumah yang tak pernah ada kuncinya itu.

Perlahan daun pintu rumah ujung gang itu berderit. Tak berselang lama, pemilik rumah itu keluar. Mataku melirik ke arah ruang tamu. Sekali lagi, semuanya berubah.

Masih jelas dalam ingatanku. Dahulu, dalam rumah itu ada gambar bintang merah. Ada juga gambar tokoh fenomenal Tan Malaka dengan ukuran besar. Tidak ketinggalan, sebuah lukisan Che Guevara yang sedang menimati rokok cerutu. Lukisan berlatar hitam putih itu pemberian dari seorang kawan. Selebihnya, aku tidak ingat lagi apa aksesoris yang menempel di ruang tamu. Ah, itu dulu.

Di bawahnya, sebuah karpet merah yang lusuh karena bercampur debu selalu menghampar. Diatas karpet itulah, jika siang hari kami berdiskusi dan jika malam hari kami dibuai mimpi.

Oh ya, ada satu lagi benda berharga dirumah itu. Sebuah celengan berbentuk kubus. Dulu kawan-kawan menyebut celengan terbuat dari kayu itu sebagai penyimpan dana revolusi. Walaupun akhirnya celengan itu dibongkar sebelum penuh isinya.

Pintu rumah mentereng itu kembali berderit. Seseorang masuk dan menguncinya. Anganku buyar lamunanku ambyar. Sejenak kemudian aku sadari bahwa semuanya telah berubah. Tidak ada lagi bintang merah di rumah itu. Mungkin bintang itu sudah berpindah dan melekat dihati mantan penghuninya. Semoga...

Dianggap Bertuah, Air Kotor Jadi Rebutan


Dipercaya Bertuah, Air Bekas Pohon Jadi Rebutan

Jombang (beritajatim.com) – Sebuah sumber air bekas pohon tumbang yang ada di Desa Betek Kecamatan Mojoagung, Jombang ramai dikunjungi warga. Air yang yang muncul dari kubangan bekas pohon itu dipercaya bertuah. Warga percaya, dengan meminum air tersebut bisa menyembuhkan penyakit.

Watini, salah satu warga mengatakan, air ‘sakti’ itu muncul dari dasar pohon yang berusia ratusan tahun di area pemakaman Desa Betek. Pohon Iprik dengan diameter 5 meter itu tumbang setelah diterjang puting beliung. Namun sehari kemudian pada kubangan bekas pohon itu muncul sumber air dari bagian bawah ambrolnya akar.

“Jika meminum air itu maka segala penyakit bisa sembuh. Awalnya, saya terkena penyakit linu, tapi setelah meminum penyakit itu penyakit saya langsung sembuh,” kata Watini saat ditemui dilokasi, Kamis (4/3/2010).

Hal senada juga dikatakan Purwanto, warga lainnya. Menurut bapak tiga orang anak ini, pohon iprik tersebut sudah berusia ratusan tahun. Mneurut cerita para petua, pohon tersebut ada sekitar tahun 1800. Saat tumbang, selain memunculkan sumber air, juga terdapat batu bata kuno. “Meski airnya kotor tap[I berkhasiat,” jelas Purwanto.

Pantauan beritajatim.com dilapangan, sejak dua hari lalu ratusan warga mulai menyerbu dan berebut air ‘bertuah’ itu. D engan menggunakan peralatan seadanya, seperti gelas dan botol air mineral, warga mengambil air itu. Bahkan ada yang langsung meminumnya walaupun air dari dasar pohon itu berwarna keruh.

“Meski airnya berwarna keruh namun baunya wangi. Semoga dengan meminum air ini penyakit rheumatic saya bisa sembuh,” tegas Ahmad Zamroni, pengunjung lainnya. [suf]