Minggu, 17 Agustus 2008

Orang Pinggiran Gelar Upacara Penurunan Bendera




Gunakan Bahasa Jawa, Tanpa Sepatu, Tanpa Seragam



Jombang - Upacara penurunan bendera dalam rangka memperingati HUT RI ke-63 dilakukan dengan cara yang berbeda oleh warga Desa Mojongapit Kec/Kab Jombang. Pasalnya, dalam upacara yang dimulai sekitar pukul 17.00 WIB itu, para peserta tidak mengenakan seragam. Selain itu mereka juga tidak mengenakan sepatu. Uniknya lagi, seluruh prosesi upacara menggunakan bahasa jawa ngoko.

Meski demikian, upacara yang digelar dilapangan setempat itu berlangsung penuh khidmat. Seluruh RT yang ada di Desa Mojongapit semua hadir di lapangan tersebut. Bahkan sejumlah anak kecil, dan para manula juga larut didalamnya.

"Upacara ngedukno gendero 17 Agustus 2008 kate dimulai, komandan pleton mlebu nang lapangan nyiapno barisan dewe-dewe (Upacara penurunan bendera 17 Agustus 2008 segera dimulai, komandan pleton memasuki lapangan menyiapkan barisan sendiri-sendiri)," ujar protokol upacara dengan bahasa jawa kental.

Tak berselang lama, masing-masing komandan pleton sibuk mengatur barisan. Begitu seterusnya, protokol upacara membacakan jadwal upacara dengan bahasa jawa. Bertindak sebagai inspektur upacara, Andik (35) Kepala Desa setempat. Menurutnya, upacara penurunan bendera dengan gaya yang khas itu merupakan agenda rutin yang digelar oleh desanya setiap agustus.

Yang terpenting bagi warga desa Mojongapit menurut Andik adalah penghayatan terhadap peringatan kemerdekaan itu sendiri. Oleh karena itu, meski upacara yang digelar oleh warganya itu terkesan ala kadarnya. Namun, niat untuk menghargai pahlawan sangat besar. Terkait dengan dugunakannya bahasa jawa, lanjut Andik, hal itu untuk membudidayakan bahasa jawa agar tidak luntur terherus oleh arus zaman. "Upacara ini kami gelar rutin setiap tahun. Namunkita hanya menggelar penurunannya saja," jelas Andik. [suf]

Potret Buram Kemerdekaan


Detik-detik Proklamasi, Pairin Tetap Memungut Sampah


Jombang - Detik-detik Proklamasi yang di peringati seantero penjuru Indonesia ternyata tidak terngiang di hati Pairin (45), salah satu pasukan kuning yang setiap hari beroperasi di sepanjang Jalan Merdeka Jombang.


Tepat peringatan HUT RI ke-63, aktivitas Pairin tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Pagi itu, ia mengerjakan rutinitas mengangkut sampah. Dengan gerobak berwarna kuning sebagai teman kerjanya, bapak dari tiga orang anak ini menyusuri sepanjang Jalan Merdeka hingga Jalan Ahmad Yani.


Setiap tong sampah di pinggir jalan tak luput dari tangan kreatif Pairin. Pria berkulit legam ini menghampiri, dan sampah itu ia masukkan kedalam gerobak untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA).


Hal itu ia lakukan kadang pagi hari, kadang juga siang hari, yakni ketika matahari tepat diatas kepala. Jarak yang ditempuh oleh Pairin dalam membersihkan sampah kurang lebih 1,5 kilo meter. Tak heran jika peluh dan keringat selalu membasahi tubuhnya. “ Mau kerja apalagi mas, sekarang semua serba susah,” tutur Pairin sambil menyeka keringatnya yang bercucuran, Minggu (17/08/2008).


Pairin mengakui jika gaji yang ia terima selama ini masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi untuk menyekolahkan tiga orang anaknya. Untuk menyiasati kondisi itu, jika ada waktu longgar, Pairin juga nyambi menjadi kuli batu. “Itupun jika ada yang menyuruh,” sambungnya.


Menurutnya, gaji rutin yang diterima dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) sebesar 300 ribu rupiah. Praktis, nilai itu jauh dari kata cukup untuk menjaga agar dapurnya tetap ngebul. Maklum, Pairin saat ini berstatus sebagai pegawai kontrak (honorer).


Warga Desa Candi Mulyo ini pernah mengajukan kenaikan gaji, namun oleh Dinas terkait hanya dijanjikan. Dan sampai saat ini, ketika Bangsa Indonesia merayakan Kemerdekaannya. Serta ketika Pairin terus menyusuri sepanjang Jalan Merdeka untuk memungut sampah, tapi pria dengan tiga orang anak ini belum merasakan kemerdekaan secara ekonomi.


Pendek kata, seiring dengan bergulirnya roda perubahan dan roda gerobak pasukan kuning, gaji Pairin tak pernah berubah. “Kenaikan gaji itu sudah pernah saya ajukan, tapi katanya orang Dinas masih diusahakan. Dan sampai sekarang tidak ada perkembangan lagi,” tuturnya polos.


Ketika disinggung tentang peringatan kemerdekaan RI ke 63, Pairin tidak banyak berkomentar. Yang ia tahu hanya jumlah tong sampah berjajar di pinggir Jalan Merdeka jumlahnya tak sampai 63. Dan jika tersengat panas, Pairin sempat berteduh dibawah kibaran merah putih yang berderet di jalan itu.


Ironisnya, hal itu bukan hanya berlaku bagi Pairin, namun seluruh pasukan kuning yang ada di Jombang, yakni sebanyak 255 orang. Bahkan ada pasukan kuning yang berijasah S-1 tetapi tidak berpengaruh pada jumlah gaji yang diterima.


Apakah kita sudah merdeka? Pairin hanya menggelengkan kepala. “Yang penting saya bekerja untuk mencari uang sehingga anak istri saya bisa makan hari ini,”pungkas Pairin dengan nada pasrah sambil menyeret gerobak kuningnya. [suf]