Minggu, 27 Januari 2008

Dua SMS Saat Kematian Soeharto


Dua SMS Saat Kematian Soeharto

Tepat pukul 14.30 WIB, tanggal 27 Januari 2008 kemarin, hand phone saya bergetar. Sebuah pesan singkat dari kawan lama saya tampak di layar. Kata-kata Innalillahi wa inna ilaihi rojiun menjadi pembuka pesan itu Oh, sebuah kabar duka rupanya.. Kawan lama saya yang kini tinggal di Jakarta itu mengabarkan bahwasannya mantan Presiden Soeharto telah meninggal dunia di RSPP.

Meski demikian, tidak ada kekagetan dalam diri saya. Sebab, mantan orang kuat pada zaman orba itu sudah lama di dera sakit. Ditambah lagi dengan usianya yang sudah udzur, 87 tahun. Selama 87 tahun menjalani hidup, 32 tahun diantaranya ia habiskan untuk memegang kekuasaan. Sebuah angka yang cukup fantastis dalam memegang jabatan Presiden.

Secara tiba-tiba pikiran saya teringat pada seorang aktivis era 90-an yang bernama Tri Agus S Siswowihardjo. Ia ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan menghina presiden terkait kasus pembredelan tiga media massa, Tempo, Editor, dan Detak. Meski demikian, hal itu tidak pernah menyurutkan niatnya untuk merobohkan tirani yang dibangun rezim Soeharto. Praktis, aktivitasnya tidak jarang harus berakhir di rutan Salemba.

Namun hal itu semakin menambah lantang teriakannya dalam mengabarkan kebenaran dan keadilan. Hal itu terlihat jelas dalam pledoi yang di bacakan oleh mahasiswa IKIP Jakarta ini di depan Pengadilan Negeri Jakarta. Dalam pembelaan itu, Tri Agus mengatakan, bahwasannya apa yang dilakukan oleh Soeharto dengan memenjarakannya adalah suatu hal yang sia-sia, tidak produktif dan tidak popular.

Menurut Tri Agus, dengan mengurungnya selama 4 tahun hanya karena tuduhan menghina presiden adalah sebuah ironi. Betapa tidak, disaat keterbukaan di gembar-gemborkan, disaat pesta akbar di rayakan, ternyata ada beberapa anak negeri yang mencintai bangsanya dengan keyakinan politiknya, justru dipenjara. “Penjara tak kan membuat kami jera. Karena terali besi tak akan bisa merubah se-ekor rajawali menjadi nuri,” demikian tulisnya.

Mahasiswa IKIP Jakarta jurusan PMP ini di adili pada tahun 1995. Tahun itu di anggap istimewa oleh kalangan aktivis. Bagaimana tidak, tahun 1995, selain 50 tahun HUT Proklamasi kemerdekaan, juga bertepatan dengan kekuasaan Soeharto berusia 30 tahun, dan 20 tahun penyerangan dan pendudukan Indonesia atas Timor Leste.

Sekali lagi, meski di depan persidangan, Tri Agus tak berhenti menghujat Soeharto. Ia mengaku, sebenarnya sudah akrab dengan Soeharto. Kalau orang-orang mungkin bangga diundang Soeharto di cendana untuk mengikuti acara ulang tahun setiap tgl 8 Juni, entah sampai kapan. Tapi tidak bagi dia.

Bahkan ia juga mengaku, pihaknya dan aktivis pro-demokrasi di IKIP Jakarta pernah 2 kali (tahun 1991 dan 1992) menyelenggarakan acara ulang tahun Soehartoyang lahir di Godean, Yogyakarta pada tahun 1921 itu.

Dalam acara tersebut, pria berambut gondrong ini mengundang sekitar 90 orang yang namanya Soeharto. Tri Agus sengaja mengundang Soeharto-Soeharto itu lewat surat yang alamatnya di dapatkan dari buku telpon. Dari separuh yang datang pada umumnya mereka orang Jawa dan bekerja di swasta. Ada juga purnawirawan ABRI dan seorang dokter. Ia sempat berdialog dengan mereka. “Ada yang menyesal mempuyai nama Soeharto, tentu saja ada juga yang bangga,” katanya.

Ia mencontohkan, ketika terjadi pembantaian dilapangan Tian Nan Men yang dilakukan Li Peng atas gerakan pro-demokrasi di China, kemudian terjadi penggantian puluhan nama Li Peng di Hongkong sebagai protes terhadap keberadaan Li Peng.

Menurutnya, para Soeharto-Soeharto disini memang tak mengganti nama beramai-ramai. Namun ketika Soeharto tak semakin terkontrol dalam menjalankan pemerintahan disini. Ketika sentralisasi kekuasaan di tangan satu orang, dan kemudian melahirkan tindakan sewenang-wenang, maka meraka malu mempunyai nama Soeharto.

Berbagai kekecewaan ternyata tak hanya diakui dan dirasakan oleh Soeharto-Soeharto tadi. Melainkan seluruh rakyat yang mendambakan perubahan baik politik maupun ekonomi. Lamanya memerintah Republik ini menimbulkan kebosanan baik terhadap sistem yang semakin personal maupun terhadap Soeharto sendiri.

Bukan hal yang aneh, lanjut Tri Agus, jika ada idiom yang mengatakan: “Tidak benar Soeharto ingin menjadi presiden seumur hidup. Yang benar Ia ingin menjadi presiden sampai mati”. Dan kalau ada pertanyaan mengapa presiden tak ganti-ganti? Bagaimana bisa diganti kalau persyaratannya berat yaitu: 1) Ia harus orang Islam, 2) Dari ABRI, 3) Dari Jawa, dan yang paling penting, 4) Berpengalaman menjadi presiden. Tak heran pula banyak orang senang dengan humor seperti ini.

********************
Lamunan saya tentang aktivis era 90-an itu mendadak buyar seiring dengan hand phone saya kembali bergetar. Tema yang disampaikan dalam pesan singkat itu sama dengan yang pertama. Namun, kali ini pengirimnya adalah kawan saya seorang wartawan. Titik tekan yang dikabarkan bukan kematian Soeharto. Kawan saya itu lebih mengulas misteri angka 2 dan 3 dalam kematian mantan orang kuat ini.

“Soeharto meninggal tidak jauh dari angka 2 dan 3. Selama sakit dirawat di RSPP selama 23 hari. Kemudian meninggal pada pukul 13.10, jika di jumlah 13+10= 23. Dan dia berkuasa selama 32 tahun. Iya kan?,” demikian bunyi pesan itu.

Kontan dahi saya berkerut, atak saya berpikir, dan akhirnya muncul kesimpulan, bahwasannya mantan orang kuat orde baru ini memang fenomenal. Baik waktu dia berkuasa maupun waktu sakit. Bahkan, pada saat meninggal-pun tetap memunculkan fenomena serta menarik untuk dibicarakan dari berbagai sudut pandang. Bagaimana dengan anda? (yusuf wibi)

Jumat, 25 Januari 2008

Uang Rp 20 Ribu Tidak Lagi Berarti Bagi Kaum Ibu


Imbas Melambungnya Harga Kebutuhan Pokok


JOMBANG – Melambungnya harga kebutuhan pokok serta terjadinya kelangkaan minyak tanah akhir-akhir ini membuat sejumlah kaum ibu yang ada di Kabupaten Jombang kelimpungan. Mereka harus memutar otak agar bisa membelanjakan uang hasil kerja yang notabene digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Praktis, uang senilai Rp. 20 ribu yang dulunya cukup untuk kebutuhan, saat ini hanya pas-pasan, bahkan cenderung kurang. Kok bisa?

SHOLIKAH (50), seorang ibu yang bekerja sebagai tukang cuci di Desa Nglundo, Kecamatan Jombang mengaku, upahnya sebesar Rp 8.000 sehari ditambah dengan upah suaminya sebagai buruh lepas sebesar Rp 15.000 per hari, hanya bisa digunakan untuk makan sehari-hari bersama empat orang anak dan seorang cucunya.

Dengan menganggarkan uang belanja Rp 20.000 per hari, menurutnya, hanya cukup untuk membeli dua Kilogram beras seharga Rp 11.000, seperempat minyak goreng senilai Rp 3.500, dan seliter minyak tanah Rp 2.500.

“Sisanya tinggal Rp 3.000, itu hanya cukup untuk beli sayur. Kalau mau makan lauk, ya hanya tempe. Itu saja biasanya diberi oleh majikan saya. Kalau masih ada sisa Rp 3.000 dari upah bekerja, itu disimpan sebagai uang saku anak-anak,” ucapnya pasrah.

Sholikah tidak sendiri, beberapa kaum ibu juga merasakan gejala yang sama. Kebanyakan dari mereka harus mengerem segala kebutuhan keluarga. Semisal, untuk uang saku anak harus dipangkas hingga 30 persen. “Intinya harus pintar menyiasati agar dapur tetap ngebul. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa makan?,” tambah seorang ibu yang biasa berjualan di kawasan simpang tiga Jombang dengan nada bertanya..

Tak hanya itu saja, kelangkaan minyak tanah yang terjadi belakangan ini di Jombang, juga menyebabkan kaum ibu di Kecamatan Peterongan terpaksa memasak dengan kayu bakar. Padahal, dengan menggunakan kayu bakar otomatis tenaga yang harus dikeluarkan oleh para ibu tersebut cenderung lebih besar. Sunarti (40) mengaku, sempat selama seminggu terakhir ini pihaknya kesulitan memperoleh minyak tanah.

“Untuk menyiasati, akhirnya saya pakai kayu bakar untuk memasak. Tapi itu harus dibayar dengan tenaga ekstra. Karena saya harus mencarinya ke kebun terlebih dulu. Sehingga waktu yang seharusnya di buat untuk bekerja harus terbuang hanya untuk mencari kayu bakar,” katanya.

Menurut ibu yang bekerja sebagai penjaja kue keliling ini, kesulitan ekonomi sekarang ini cukup membebankan ibu rumah tangga, karena tak hanya lonjakan harga yang dihadapi, tapi juga kelangkaan. “Barangnya langka, duitnya juga langka. Mau hidup gimana lagi,” ucap Sunarti dengan nada mengeluh.

Untuk itu, pihaknya sangat berharap kepada pemerintah agar memahami kesulitan yang di dera oleh kaum ibu. Yang terpenting baginya, bagaimana kebutuhan pokok yang terus merangkak naik ini segera dihentikan. Dan juga kelangkaan minyak tanah bisa segera diatasi. “Harapan kami agar pemerintah segera mengambil langkah. Sehingga masalah-masalah terkait kebutuhan pokok bisa teratasi,” pungkasnya.

Uri-uri Tradisi


Ritual Nyadran diwarnai Kirab Jodang Sepanjang 2 Km

JOMBANG – Ratusan warga dusun Paras desa Turi Pinggir Kecamatan Megaluh berduyun-duyun menuju makam desa. Pagi itu mereka menggelar acara bersih desa atau yang biasa disebut nyadran. Uniknya, dalam ritual itu, warga berbodong-bondong dengan membawa ratusan jodang (tempat makanan terbuat dari kayu, red). Setiap jodang dipikul oleh dua orang. Bagaimana jalannya ritual?


KESIBUKAN yang tidak seperti biasanya mewarnai dusun Paras pagi itu. Iring-iringan jodang sepanjang 2 Km bergerak perlahan menuju makam desa. Dibelakangnya, ratusan warga baik laki-laki maupun perempuan dengan telaten mengiringinya.
Sesampainya di makam, irama kendang terdengar rancak mengiringi, gong, bonang, saron dipadu rebab, seakan saling memacu guna menyambut datangnya iring-iringan tersebut.
Sesaat setelah ratusan jodang itu diturunkan dan kain penutupnya tersingkap nampak aneka macam panganan didalamnya. Mulai dari krupuk, rengginang, kue, dan sebagainya. Aneka makanan ringan itulah yang di jadikan sesaji dan akan porak dalam ritual tersebut.
Acara bersih desa yang digelar oleh dusun yang berada di tepi sungai brantas itu merupakan acara rutin setiap tahun, terutama pada bulan suro. Dengan melakukan ritual itu, warga dusun Paras percaya hasil panen mereka akan menuai keberhasilan. Bahkan semakin berlimpah.
“Ini merupakan ritual yang digelar setiap tahun. Hal itu sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang dulu. Intinya warga sini berharap selalu diberi limpahan rezeki serta di jauhkan dari segala bala’ dan penyakit,” tutur Kasmidi (75), sesepuh dusun Paras
Sedangkan makam yang dijadikan tempat ritul adalah makam mbah Sandi. Oleh warga, mbah Sandi dipercaya sebagai orang yang berjasa mendirikan desa tersebut. Dengan kata lain, makam yang berada dalam cungkup tersebut merupakan orang yang pertama kali mbabat alas dusun Paras.
Hari semakin siang, warga yang hadir dalam acara ritual semakin berjubel. Mereka berdesakan diantara areal pemakaman. Didepannya, jodang yang berisi panganan siap untuk disantap. Sebagian besar dari mereka tidak sabar dan ingin ngalap berkah dari sesajen itu.
Seiring dengan selesainya sesepuh desa membacakan do’a, ratusan warga itu langsung menyatap sesajen yang sudah tersedia. Sebagaian lagi, ada yang memasukkannya ke dalam tas besar untuk dibawa pulang dan dinikmati bersama keluarga.
“Selain untuk meminta keselamatan dan minta dilimpahkan rezeki, acara ini juga digunakan sebagai media untuk merekatkan tali silaturahmi diantara sesama. Maka tidak heran, hingga saat ini warga desa Paras selalu rukun dan damai,” tambah Kartubi (45) salah satu warga.
Sembari menikamati sesajen, Kartubi menambahkan, acara ritual yang digelar oleh warga dusun Paras tidak selesai sampai disitu. Malam harinya, warga diberi suguhan hiburan selama dua malam. Yakni, dengan menggelar pementasan ludruk dan wayang kulit.

Rabu, 02 Januari 2008

Konvensi Internal Parpol; Masihkah Kita Bisa Berharap?

Oleh : Yusuf Wibisono*

Membaca beberapa buah pikiran Sdr. Ikhsan Effendi yang muncul di Radar Mojokerto, Surabaya Pagi maupun Radar Minggu, membuat saya terinspirasi untuk memberikan
sedikit komentar. Secara umum, inti dari tulisan-tulisan tersebut adalah concern dari Cak
Ikhsan untuk terus memperjuangkan terwujudnya demokrasi. Menurutnya, demokrasi harus dimulai dengan pelibatan secara penuh seluruh masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik tentunya melaluiberbagai mekanisme yang disepakati. Demokrasi harusdibangun dan diperjuangkan oleh segenap elemen bangsa, utamanya dimulai dari pembenahan partai politik. Membenahi parpol berarti membersihkan parpol dari berbagai praktik KKN, menyehatkan sistem internal parpol melalui kaderisasi, pendidikan politik serta constituent control system.

Lebih tertarik lagi, mengenai ide yang dimunculkannya tentang pentingnya parpol di Jombang untuk segera melakukan persiapan sedini mungkin dalam menghadapi pilkada. Utamanya dengan melakukan perbaikan system rekrutmen calon kepala daerah apakah melalui konvensi, pemilu internal atau sejenisnya. Akan tetapi pertanyaannya adalah mungkinkah mekanisme rekrutmen seperti itu akan dilakukan oleh parpol? Atau apakah
para petinggi parpol mau untuk melaksanakan system konvensi yang diusulkan tersebut?

Saya sepakat dengan pendapat Cak Ikhsan bahwa model rekrutmen yang seperti itu akan dapat meminimalisir deviasi (kesenjangan) antara suara parpol dengan suara rakyat yang pada akhirnya dapat mencegah munculnya problem kekecewaan konstituen maupun apatisme public atas pilkada. Akan tetapi saya melihat ide cemerlang tersebut ada banyak ketidakberdayaan untuk mewujudkannya.

Secara teoritis, Pilkada langsung adalah suatu mekanisme pengalihan hak dan kewenangan politik dari DPRD sebagai lembaga ke rakyat yang akan memilih
secara langsung calon-calon kepala daerah yang akan memimpin daerahnya. Namun, UU masih memberi kesempatan besar kepada partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak, partai menetapkan calonnya masing-masing kemudian rakyat menentukan pilihannya (mencoblos) kepada calon yang sudah ditetapkan oleh
partai.

Disinilah kemungkinan deviasi tersebut terjadi. Rakyat dalam arti sesungguhnya dan DPRD dalam arti lembaga tidak diberi ruang dalam menentukan kandidat. Sedangkan setiap partai politik melakukan penjaringan calon dengan caranya masing-masing. Dalam prakteknya, penjaringan yang dilakukan oleh partai politik hanya dilakukan secara internal berdasarkan hirarki kepengurusan dengan tanpa melibatkan rakyat secara
luas, bahkan tidak kurang partai politik yang calonnya hanya ditentukan oleh segelintir elite partai yang bersangkutan.

Belajar dari pengalaman pilkada yang telah terlaksana di berbagai daerah menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan figure ketua parpol-lah yang akan diusung sebagai calon kepala daerah dari parpol tersebut. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini terdapat tujuan lain bagi sebagian aktivis yang berkecimpung dalam parpol yakni untuk mendapatkan “individual benefit” baik dari aspek ekonomi atau social status ataupun sekedar popularitas.

Saat ini masih banyak orang yang masih menjadikan politik sebagai tumpuan karir, Sehingga kalaupun partai memandang individual benefit tersebut harus diserahkan kepada orang lain tentunya harus ada “kompensasi yang sepadan”. Hal inilah yang dapat
menghambat kader-kader partai yang walaupun dirinya senada dengan suara mayoritas atau yang sangat dikehendaki telah terambil kesempatannya. Padahal seharusnya secara ideal, dalam proses pemilihan kepala daerah yang dipertaruhkan ialah pandangan dan visi
perorangan, pengabdian ke rakyat, ketokohan, jejak rekam serta pribadi sang calon bukan hanya sekedar dari latar belakang kepartaiannya saja, ataupun karena strategi partai saja, apalagi hal itu hanya ditentukan oleh beberapa elit politik saja.

Faktor lain yang potensial menjadi batu sandungan adalah fenomena candidacy buying. bahkan kalau mau jujur, hal ini sangat vulgar terindikasi dalam pemilihan kepala daerah. Kecenderungan pejabat lama dan pengusaha merapat ke partai untuk mendominasi
pencalonan kepala daerah, mungkin ini perlu dicermati karena ada pengaburan didalam demokrasi. Dan hal itu akan menimbulkan problem representasi politik yang makin buruk dalam sistem demokrasi kita.

Politik membutuhkan dana yang besar untuk menghidupi organisasi partai dan kampanye, yang tendensi keduanya sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku.
Di negara-negara Amerika Utara, dana politik lebih diorientasikan untuk kampanye (campaign oriented) ketimbang pada partai (party oriented). Sementara di
negara-negara Eropa Barat, dana politik lebih diperuntukan bagi pendanaan partai (party financing). Karena di eropa kampanye lebih didominasi oleh partai, sedangkan di Amerika Utara oleh kandidat. Atau dalam sistem parlementer memberi tekanan pada pembiayaan partai politik, sedang sistem presidentil lebih mengutamakan kandidat yang berperan dalam kampanye pemenangan pemilu (Nassmacher, 2001).

Dalam sistem pemilihan proporsional (party base), seperti pemilu pada era Orde Baru, memberi peran yang sangat besar kepada partai untuk mengumpulkan dana.
Sebaliknya dalam sistem pluratitas-mayoritas (candidate base), kebutuhan dana lebih pada kampanye kandidat yang dilakukan oleh kandidat sendiri. Dalam sistem campuran seperti sekarang ini, calon kepala daerah memerlukan dana besar untuk kampanye dirinya
dan mendukung kampanye partainya.

Masalahnya hampir semua partai politik, apalagi yang masih muda, belum memiliki fondasi keuangan dari dalam dalam anggota, suatu indikasi dukungan yang lemah
terhadap partai. Masalah yang lain, semakin hari semakin terang jabatan-jabatan politik atau public adalah tujuan pamungkas hasrat “kekuasaan ekonomi dan politik” dari mereka yang mengincarnya. Dan konstituen partai lebih mengharapkan timbal balik dari
politisi yang terpilih berupa sedekah langsung daripada produk kebijakan umum yang baik untuk kesejahteraan bersama

Akhirnya, di tengah realitas demokrasi internal yang buruk, atau tiadanya pemilu internal partai, jelas penentuan kandidat partai itu bukan ditentukan oleh suatu proses kompetisi yang didasarkan pada uji kompetensi, kualitas pribadi, integritas, atau rekognisi konstituen, tapi mayoritas karena kedekatan dengan pemuka partai, loyalitas dan jumlah setoran ke kas partai. Konvensi internal partai….Masihkah kita bisa berharap..?


Tulisan ini pernah dimuat di halaman opini Radar Mojokerto

Wajah Desa Sedang Berubah


Desaku yang kucinta
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai taulanku

Tak mudah kulupakan
Tak mudah bercerai
Selalu kurindukan
Desaku yang permai

Dari lirik lagu diatas seakan kita diberi gambaran bahwa kondisi desa kita sangatlah indah, nyaman dan selalu dinaungi oleh suasana penuh kedamaian. Ayah, ibu, sanak saudara dan sahabat semua ada didesa. Berkumpul, bermain dan berkarya didesa, bagi orang desa merupakan suasana kehidupan yang diharapkan. Dan kerukunan hidup yang dilandasi oleh sikap saling menyayangi dan semua kegiatan dilakukan secara gotong royong saeyek saeko proyo benar-benar menjadi pegangan hidup masyarakat desa.

Benarkah kehidupan masyarakat desa kita sekarang masih senyaman itu? Segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama? Ikatan persaudaraan masih kuat?

Untuk menjawab pertanyaan ini tidak mudah. Memang pernah disuatu saat desa-desa kita mengalami kemakmuran yang luar biasa. Keindahan alam dan kemakmuran desa kita diibaratkan seperti zamrud di khatulistiwa yang mengundang kekaguman bangsa manca. Tatapi di suatu saat lainnya, keadaan desa kita pernah mengalami kehancuranyang tidak terkirakan, karena bencana alam, wabah penyakit atau peperangan. Dan pada jaman ini keadaan kehidupan desa kita digilas oleh roda jaman yang sedang menggila. Para petani kita seakan tak berdaya menghadapi perubahan itu. Tawney (1970) menyatakan bahwa kehidupan sebagian masyarakat pedesaan seperti orang yang terendam air sebatas lehernya, sehingga ombak kecilpun akan menenggelamkan mereka.

Kondisi ini di perparah lagi oleh kebijakan pertanian yang dilakukan pemerintah dimasa lalu yang tidak memperhatikan nasib para petani. Dengan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jutaan petani menjadi korban. Yang harusnya dilindungi justru dijadikan tumbal. Industrialisasi berjalan terus sampai tak terbendung. Sawah dan ladang berubah menjadi pabrik, akibatnya para petani banyak kehilangan lahan.

Dalam kondisi seperti ini, ada memang walaupun sangat sedikit sekali petani kita dapat berkembang menjadi petani yang sukses. Tetapi juga karena dukungan dari pengusaha saat itu. Bagaimana yang lain? Ada juga petani kita yang hanya mampu bertahan. Karena mampunya hanya bertani, secara otomatis walaupun susah tetap di jalani. Hal ini dialami sebagian besar dari petani kita. Sedangkan yang lain melakukan migrasi dengan beralih ke profesi lain. Akan tetapi tidak sedikit dari mereka yang mengalami kegagalan. Hal itu di picu oleh minimnya pengalaman dalam bidang lain. Selebihnya lagi hidup dalam kesulitan yang luar biasa.

Di Jombang kondisinya tidak jauh berbeda. Banyak tanah di Wonosalam yang pemiliknya bukan orang Wonosalam. Tanah-tanah tersebut dimiliki orang Surabaya atau orang Jakarta. Kondisi itu sedikit mengalami perubahan seiring dengan ditabuhnya genderang reformasi. Para petani mulai berani menyampaikan tuntutannya guna memperbaiki nasib.

Gayung mulai bersambut. Sektor pertanian mulai mendapatkan perhatian. Apalagi pemimpin di daerahnya berasal dari petani. Alhasil, pembangunan pertanian menjadi pusat perhatian. Akhirnya, pada tahun 2004 di buatlah konsep strategi pembangunan pertanian terpadu. Pembuatan konsep ini dilakukan memang karena sebagian besar warga Jombang adalah petani. Wajar dan masuk akal kalau dilakukan. Dan tidak masuk akal kalau kita mengingkari fakta ini.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, diantaranya: Pertama, pengakuan bahwa bidang pertanian sebagai sektor dominan dalam kontribusinya terhadap PDRB. Meski demikian, ternyata sektor tersebut belum bisa memberikan tingkat pendapatan yang memadahi bagi petani itu sendiri. Kedua, hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan petani akan berhasil jika ditunjang oleh ketersediaan saprodi terutama benih, peningkatan produktivitas dan penyuluhan, pengolahan hasil menjadi olahan jadi, sarana pasar dan promosi, dan juga ketersediaan kredit dan asuransi pertanian.

Dan memang strategi pembangunan pertanian terpadu ini secara konsisten di jalankan oleh pemerintah kabupaten Jombang. Yakni dengan melakukan pengawasan terhadap distribusi pupuk dan saprodi dengan harga yang terjangkau petani. Pembangunan infrstruktur pertanian, penyediaan permodalan petani, penataan kelembagaan penyuluhan pertanian, dan revitalisasi kelompok tani.
Disamping itu, sekarang ini desa sedang di gelontor oleh berbagai program pemerintah seperti PPK, P2KP, Gerdutaskin, P2SPP, Stimulan khusus, ADD dan masih banyak lagi. Kesiapan masyarakat desa dalam menerima program haruslah disiapkan, agar program tersebut tepat sasaran dan bermanfaat bagi kemajuan desa. Ke-306 desa/kelurahan sudah mampu membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa/Kelurahan (RPJMD/K).

Kesiapan masyarakat dalam melaksanakan program itu dibuktikan dengan adanya partisipasi masyarakat desa. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya, sehingga program yang ada di desa akan selalu direncanakan bersama, dilaksanakan bersama, dan juga di awasi bersama. Jangan coba-coba melakukan penyelewengan, karena akan berhadapan dengan masyarakat secara langsung. Praktis, sudah tidak ada lagi pelaksanaan pembangunan desa yang di dominasi oleh perangkat desa atau keluarga kepala desa.

Semangat kegotong-royongan yang akhir-akhir ini mulai luntur coba digelorakan kembali. Dengan semangat keswadayaan dan gotong-royong lambat laun kondisi desa berubah kearah yang lebih baik. Penduduk desa menyadari bahwa saat inilah keberadaannya diakui dan di perhatikan. Saat inilah penduduk desa merasa menjadi aktor dalam melaksanakan pembangunan.

Hasil yang dapat dilihat dari proses pemberdayaan masyarakat desa ini sungguh luar biasa. Lihatlah jalan-jalan poros desa sudah mulus, sehingga dapat melancarkan aktivitas penduduk desa dalam membangun perekonomian. Para petani bisa dengan mudah mengangkut hasil panennya dari sawah. Selain itu, akses pendidikan dan kesehatan dengan mudah terjangkau. Itu semua merupakan buah dari partisipasi masyarakat desa. Pendek kata, sebaik apapun konsep pembangunan, tanpa di dukung oleh partisipasi masyarakat desa, pemerintah daerah tidak dapat melakukan apa-apa.

Seiring dengan bergulirnya waktu, kini desa kita sedang berubah. Perubahan itu bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga warga yang mendiaminya. Dan perubahan itu bukanlah tanpa sebab. Dengan sentuhan dingin Pemimpin Daerahnya semua yang tadinya diam dan beku dapat segera bergerak dengan cepat. Kebijakan yang diarahkan untuk mensejahterakan petani di kedepankan. Sementara kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang di tinggalkan.

Maka tidak heran, pembangunan yang bersifat mercusuar, seperti pembangunan mal-mal, stadion besar dan megah tidak dilakukan. Itu semua berangkat dari kesadaran bahwasannya kebijakan kebijakan yang ada harus berpihak kepada yang lemah. Hanya pemimpin Daerah yamg memiliki kepekaan tinggi yang dapat melakukannya. Hanya pemimpin seperti ini yang notabene berasal dari keluarga petanilah yang dapat memahami cara berpikir dan tradisi petani. Bagaimana mungkin dapat memahami kalau bukan berasal dari satu jiwa. Jiwa petani yang berusaha membangun negeri ini menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi. Mari kita bekerja dari dan untuk kesejahteraan petani.