Senin, 18 Oktober 2010

HPN (Semoga) Bukan Hari Peres Nasional


Menyenangkan, menyaksikan begitu banyak organisasi, kelompok, bahkan pribadi yang memperingati Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010. Sebagai pribadi yang menjalani profesi ini sulit untuk tidak mengatakan bahwa profesi ini masih begitu menyedihkan, sebagai sebuah pilihan hidup!

Meski, sebagai pribadi yang telah menjalani hari-hari itu, sangat-sangat bersyukur kepada Tuhan telah memberikan banyak ruang dan waktu yang harus dilintasi dan disaksikan. Melihat orang jatuh dan terbangun. Orang bangkit dan jaya. Atau mereka yang tiba-tiba terlupa dari catatan sejarah!

Peristiwa-peristiwa, ketegangan dan kemudahan, sampai pada pengharapan bahwa anak dan istri masih bisa makan untuk esok hari dari gaji seorang pekerja media, adalah dunia yang berbeda di dalam profesi ini, yang (tentu saja) tak pernah diperingati secara nasional.

Sulit menyebut kata pers, wartawan, atau reporter, ketika sudah membicarakan tentang anak-anak dan istri yang menunggu di rumah. Mereka bukan bagian dari hirup-pikuk politik. Bukan bagian dari ketegangan deadline. Bukan bagian dari ancaman saat pihak-pihak tak suka karena pemberitaan. Bukan bagian dari sekian pasal atau definisi tentang pers yang profesional!

Juga, anak-anak dan istri bukan bagian dari pertanyaan:''Pak, dari siapa uang di amplop yang dibawa pulang ini?'' Sulit menjawab ketika anak dan istri melihat orang-orang telah menjadi bagian penting dari sejarah republik ini, lalu mereka bertanya:''Lho, itu kan teman bapak. Sudah kaya. Sudah jadi menteri. Sudah jadi pejabat. Kok, bapak masih jadi wartawan?''

Tentu, ini juga berbeda dengan kawan-kawan yang beruntung. Karena kekuatan jaringannya, karena posisi keuangan di perusahaannya yang surplus iklan, karena kepandaiannya, mendapatkan penghasilan yang (sangat) layak. Juga, ini berbeda dengan kawan-kawan yang karena profesi ini, kemudian beralih menjadi politisi, pejabat, pengusaha atau bahkan menjadi Direktur Utama PLN. Berbeda. Pers bukan nasib institusi. Pers bukan nasib kelompok. Pers adalah nasib pribadi-pribadi yang digariskan berbeda tiap orangnya.

Jadi, tak perlu ditutupi bahwa masih ada kawan-kawan yang kemudian harus menunggu amplop untuk menambah biaya hidupnya. Atau, mungkin sedikit berbuat kriminal dengan menyebut dirinya sebagai insan pers, wartawan atau apalah namanya yang terkait dengan pekerjaan media agar mendapatkan penghidupan untuk anak-istrinya di rumah.

Itu juga pers. Itu juga wartawan. Itu juga pekerja media. Dan, itu adalah realita. Sekali lagi, menyenangkan menyaksikan begitu banyak organisasi, kelompok atau individu yang memperingati Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010. Di mana, tentu saja, kita tak bisa menutupi mereka yang masih bertahan hidup dengan cara apa saja dari profesi ini. Semua tentu berharap pers Indonesia maju. Pers Indonesia profesional. Pers Indonesia obyektif dan tidak memihak, dan pers Indonesia bukan tukang peres!

Ini hanya refleksi dari perjalanan menjalani pekerjaan ini. Sambil berdoa, semoga anak-anak dan istri tak resah karena pekerjaan bapaknya. Juga, berdoa agar kawan-kawan yang harus kehilangan pekerjaan karena perusahaannya kolaps, standar gajinya rendah, tak punya media yang jelas, terluka karena tugas, menderita karena teror, hilang karena pemberitaan, terbunuh karena pekerjaan, ketrampilan dan pendidikan yang masih belum memenuhi standar karena tak ada kesempatan, kehidupan di bawah standar kesejahteraan normal karena penghasilan, segera mendapatkan perubahan.

Semoga, Tuhan selalu dan tetap memberikan yang terbaik buat pers Indonesia. Dan, memberikan keadilan bagi bagi mereka yang telah berjuang di profesi ini. Semoga, perjalanan sebagai pribadi di profesi ini, mendapat ridho dan ampunan. Amin!

Jombang, 9 Februari 2010

1 komentar:

Annida mengatakan...

Bagus bgt. Keep spirit. Konsisten👍👍👍