Minggu, 04 September 2011

Menembus Lorong Waktu di Surau Tua


KESUNYIAN di sebuah surau tua tiba-tiba pecah ketika sekelompok anak muda tertawa berderai-derai. Sekelompok anak yang terlibat reuni kecil itu mengingat masa lalu mereka. Ya, ketika mereka hidup di sebuah dusun. Layaknya bocah dusun, ketika malam tidur di surau, bermain gitar, mencuri mangga tetangga, atau malakukan aksi kriminal kecil lainnya.

Nah, memori-memori itu kembali hidup ketika mereka berkumpul, tentunya setelah bocah-bocah dusun itu beberapa tahun hidup di rantau. Sekali lagi, membuka memori puluhan tahun itu seolah menerobos dalam sebuah lorong waktu. Lucu, ngeri, bahkan penuh kegilaan. Lewat momen lebaran, anak-anak dusun itu menembusnya.

Surau tua itu berada tepat di depan rumahku. Dengan kata lain, tempat itulah dahulu sebagai sentra berkumpulnya anak-anak desa. Selepas magrib, mereka belajar mengaji dengan metode konvensional. Malam harinya, mereka tidur bersama-sama. Esoknya, ketika pagi masih buta, bocah-bocah itu kembali ke rumah masing-masing untuk berangkat ke sekolah.

Pada hari-hari tertentu, semisal malam minggu, aksi mereka lebih kreatif. Kadang begadang sampai pagi sembari bermain gitar di ujung desa. Atau ketika tengah malam, ada yang beraksi masuk ke kebun tetangga untuk 'mencuri' mangga, kelapa, jagung, dan banyak tanaman lainnya.

Malam itu, di depan surau tua, kenangan-kenangan itu kembali mengemuka. Seolah kami kembali ke masa yang sudah lama terlewati. Ada kisah Si Klewer yang gara-gara mengkonsumsi bunga kecubung dicampur dengan kopi, akhirnya semalam ngoceh tak karuan. Bahkan, ia nekat mandi saat tengah malam karena mabuk.

Atau kisah kawan saya Jiman, ketika musim layang-layang, dia menggunakan ide yang super kratif. Jiman menggunakan benang layangan yang terbuat dari kawat kecil berbahan tembaga. Di tengah benang itu, terlilit sebuah senjata tajam berupa silet. Harapannya, Jiman selalu menang ketika layang-layangnya beradu benang atau sambitan di udara.

Hanya saja, ide nakal Jiman itu tidak berjalan mulus, justru sebaliknya berbuah petaka. Bagaimana tidak, benang tembaga tersebut mampir di atas kabel listrik bertegangan tinggi. Pertemuan dua benda itu memercikkan bunga api. Akibatnya, listrik satu desa padam dalam semalam. Beruntung, Jiman sebagai joki layangan tidak sampai kena setrum.

Selain itu, ada juga kenangan yang berjalan secara kolektif. Yakni ketika kami bergaya ala pecinta alam dengan melakukan camping ke Pantai Pelang Trenggalek. Dengan bermodal gitar tua, tas carier ukuran besar, kami berangkat ke pantai yang elok itu. Tentunya, mengamen dari bus ke bus untuk bisa sampai ke tempat tujuan. Tenda dibentangkan, kompor darurat dinyalakan. Hingga satu minggu kami menginap di tempat yang ada air terjun, serta bumi perkemahan itu.

Untuk menambah logistik, kadang kami mengamen ke kampung yang ada di dekat pantai. Sambutan warga setempat cukup hangat. Selain diberi uang, kami juga diajak makan di rumah warga. Namun lagi-lagi, segudang keisengan muncul saat plesir di tempat itu. Mencuri tanaman warga, bahkan kawan saya bernama Plentis nekat menantang penguasa laut selatan. Saya sendiri waktu itu, hampir saja tergulung ombak ketika mencoba menyeberang ke sebuah pulau kecil yang bentuknya mirip kapal.

Malam bertambah larut, cerita masa lalu di depan surau tua itu semakin membuat kami terpingkal-pingkal. Setidaknya, kenangan masa lalu itu bisa sebagai terapi sosial anak-anak desa yang sedang pulang kampung guna merayakan lebaran tersebut. Di depan surau tua itulah kami bisa memaknai mudik yang sebenarnya. Mudik bukan sekedar pamer keberhasilan dengan cara menenteng alat komunikasi super pintar.

Dengan mudik, orang-orang yang mudah kehilangan dirinya dalam hiruk-pikuk kota ingin menemukan kembali masa lalunya di kampung. Mereka yang hanya dihitung sebagi angka dan skrup kecil dalam mesin raksasa kota, ingin kembali diperlakukan sebagai manusia. Ya, kami ingin meninggalkan, walau sejenak, wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati kembali wajah-wajah kampung yang ramah.

Oleh karenanya, mudik bukan sekedar perjalanan mengarungi darat, laut ,dan angkasa, atau bersimbah keringat dalam kendaraan. Peristiwa itu merupakan perjalanan yang melintas waktu. Mereka telah membawa masa kini kemasa lalu, supaya memperoleh kekuatan buat menempuh masa depan. Sekali lagi, Mudik bukan semata-mata hiburan. Tetapi terapi massal yang bisa memanusiakan manusia. Tidak membuat kita menjadi manusia robot di tengah belantara kota. Semoga. [yusuf wibisono]

Rokib, Abang Becak yang Enggan Berkeringat


TEKNOLOGI telah memanjakan hidup manusia, tak terkecuali Rokib, seorang abang becak yang biasa mangkal di sudut kota Kertosono. Dengan memasang mesin di becaknya, Rokib tak perlu berpeluh ketika mengantarkan pelanggannya. Ia tak perlu lagi mengeluarkan keringat ekstra ketika mengais rejeki. Mesin motor dibunyikan, kendaraan roda tiga tersebut langsung melaju. Bibir Rokib pun terpulas senyum.

Saya bertemu Rokib saat menunaikan salat Idul Fitri 1432 H di masjid dusun. Dengan kopyah bertengger di kepala, Rokib menepuk pundak saya. Kami pun berjabat tangan. Maklum saja, Rokib merupakan kawan satu kelas saya ketika masih duduk di bangku SD (Sekolah Dasar). Hanya saja, karena kondisi ekonomi yang kurang beruntung, selepas SD dia memilih menjadi abang becak. Berawal dari becak setoran, kini dia sudah punya becak sendiri, bermesin lagi.

Bertemu dengan Rokib dalam salat Idul Fitri pagi itu membuat saya teringat waktu kami duduk di bangku SD. Lagi-lagi, Rokib merupakan bocah yang kurang beruntung. Dia pernah tinggal kelas, karena kemampuan akademiknya yang pasa-pasan. Bahkan, saya masih ingat, hingga kelas tiga, dia belum bisa membaca dan menulis.

Nah, ini yang membuat saya terpingkal-pingkal kalau teringat Rokib. Bagaimana tidak? Waktu itu saya melihat buku tulis yang tergeletak di bangku belajarnya. Layaknya buku pelajaran, Rokib juga menuliskan identitas diri di lembar paling depan. Hanya saja, tulisan tersebut salah kaprah. Ya, pada bagian 'Nama' tertulis Matematika, sedangkan pada bagian 'Bidang Study' justru tertulis Rokib. Sekali lagi, itu semua karena hingga kelas tiga kawan saya ini belum bisa membaca.

Kembali ke becak kayuh milik Rokib yang sudah berubah wajah menjadi betor (becak motor). Padahal, tiga tahun lalu saat saya bertemu di sudut kota Kertosono, Rokib masih setia dengan becak kayuhnya. Setiap mengantar pelanggannya, peluh selalu bercucuran dari dahinya. Namun itu semua sudah berubah. Kini Rokib tak harus repot-repot mengeluarkan keringat lagi.

Pagi itu, Rokib bercerita, untuk merubah becaknya bukan hal yang mudah. Karena ia harus merogoh kocek sebesar Rp 2,6 juta. Mulai beli besi, mesin diesel, hingga memberikan ongkos buat tukang las. Pun demikian, Rokib tak pernah memasang tarif meski kendaraannya sudah berubah wajah. "Walaupun betor, kalau tarif ya tergantung penumpang," katanya Rokib polos.

Gema takbir menyambut Idul Fitri masih berkumandang, saya dan Rokib masih terlibat obrolan ringan. Usai salat, gantian Rokib menjadi penumpang diatas motor saya. Maklum, Rokib berangkat ke masjid dengan jalan kaki. Tepat di depan rumahnya, dia turun. Kami kembali berjabat tangan sebagai simbol berlebaran. Tak lupa, saya selipkan lembaran rupiah meski jumlahnya tidak terlalu banyak. Selamat Idul Fitri 'Bidang Study Rokib', Selamat Idul Fitri juga untuk Rokib-Rokib lainnya. [yusuf wibisono]

Puasa dan Tragedi Colo-colo


Ini sebuah kisah bulan puasa yang dialami para penghuni kontrakan, kejadiannya lumayan lama, sekitar delapan tahun lalu. Karena menu colo-colo, semua penghuni kontrakan di ujung gang itu gagal manjalankan puasa. Bagi orang Jawa, colo-colo adalah menu yang sangat asing. Tapi bagi saudara kita yang ada di tanah Ambon tidak demikian.

Pagi masih buta. Serombongan anak muda dengan membawa bedug, kentongan, dan alat musik pukul lainnya baru saja melintas di depan kontrakan. Semakian jauh, suara riuh alat-alat musik itu semakin hilang. Aku melirik jam dinding. Ya, jarum jam belum bergeser dari angka 3 dini hari. Sebenarnya, meski tidak ada serombongan kelompok spesialis pembangun orang sahur itu, kami masih terjaga. Maklum saja, bagi penghuni rumah kontrakan, melekan sudah menjadi tradisi.

Mumpung jarum jam belum menabrak waktu imsak, kami hendak memasak. Meski menunya tidak jauh dari sambal terasi, ceplok telur, atau paling mewah mie instan. Sebagai menu penutup, sudah tentu kopi kental dan rokok kretek. Namun, belum sempat kaki melangkah ke dapur, teman saya bernama Habib langsung mencegah. Kawan saya yang berasal dari Pulau Seram, Ambon ini berjanji hendak memasak menu spesial. Ya, menu kuliner dari tanah Ambon Manise.

Anehnya, meski berjanji hendak memasak, namun kawan saya yang berambut keriting ini justru asyik duduk-duduk. Sesekali ia menyeruput kopi di depannya serta mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Padahal, penghuni kontrkan yang jumlahnya diatas enam orang itu sudah tidak sabar. Mereka ingin segera mencicipi kuliner yang katanya berbahan dasar sagu itu. Hingga 20 menit menjelang injurytime alias imsak, Habib masih bergeming. Kami semakin penasaran.

Nah, tepat 10 menit menjelang imsak, Habib baru menunjukkan kebolehannya. Ia beranjak ke dapur untuk memasak. Kami semakin penasaran, karena yang dimasak oleh kawan saya ini hanyalah air keran yang banyaknya tak kurang dari dua gelas. Sejurus kemudian, air itu mendidih. Habib yang dialek Ambonnya masih kental ini buru-buru menuangkan air panas itu ke dalam gelas. Berhasil.

Air panas dalam gelas itu kemudian dibawa ke ruangan dimana kami berkumpul. Dengan senyum terpulas, Habib mengeluarkan beberapa batangan sagu dari tas miliknya. "Masakan sudah siap untuk disantap. Ini menu makan sahur yang istimewa," katanya bangga.

Kami semakin bingung. Karena yang kami bayangkan adalah Habib sedang membuat bubur sagu. Namun kenyataannya, hanyalah segelas air panas dan beberapa batang sagu yang panjangnya seukuran jari. Habib sepertinya mengerti kebingunan kami. Belum sempat protes mengalir, ia langsung mempraktikkan cara menyantap menu 'aneh' itu.

Sagu sebesar stabilo itu ia celupkan ke air panas. Tak sampai lima menit, sagu tersebut ditarik kemudian dimakan olehnya. "Nah, ya ini namanya colo-colo. Ini masakan khas Ambon," kata Habib sambil mulutnya terus mengunyah.

Seluruh penghuni kontrkan langsung 'lemes' begitu tahu kuliner yang disajikan oleh Habib super-super sederhana. Bahkan tidak jarang ada yang gerundel kecewa. Nafsu makan langsung hilang. Lantas bagaimana dengan Habib? Wah, kawan saya ini malah sebaliknya. Sembari makan, ia menerangkan kehebatan colo-colo.

Menurut Habib, sebagai penyanding makanan itu, biasanya ditambah dengan jeruk nipis dan ikan laut yang kering tanpa dimasak. Konon, kata kawanku ini, rasanya lezat. Yang lebih membuat giris, katanya, saat terjadi konflik Ambon, makanan spesial itulah yang selalu menjadi santapan. "Saat kami di hutan, makanannya ya colo-colo. Nikmat banget," urainya tanpa beban.

Jarum jam dinding terus berdetak, tak terasa jarum itu sudah menabrak waktu imsak. Kami hanya bisa tertawa kecut sembari berkata hampir bersamaan, "Memangnya kita ini mau perang Bib, kita ini mau makan sahur untuk modal puasa,".

Hidup Sundari Semanis Air Tebu


Es tebu menjadi primadona baru di kota Jombang sejak enam bulan terakhir ini. Para penjual yang menjamur di sejumlah jalan potokol berlomba meraup keuntungan dari manisnya minuman tersebut. Tak terkecuali Sundari (26).

Siang itu terik mentari cukup menyengat di kawasan Jalan Hayam Wuruk Jombang. Di pinggir trotoar, Sundari sibuk menata batangan tebu yang panjangnya sekitar 1 meter. Setelah memegang sebatang tebu, ia bangkit dari kursi plastik menuju mesin pemeras yang letaknya tidak begitu jauh.

Tali warna putih yang terjuntai di poros mesin diesel berukuran kecil ia tarik kencang. Seiring dengan itu, mesin yang digunakan menggerakkan pemeras tebu tersebut menderu. Batangan tebu yang sudah dibersihkan itu kemudian ia masukan ke mesin yang berputar.

Tidak kurang dari lima menit, tebu batangan langsung pipih dan berubah menjadi ampas. Sedangkan air sari tebu menetes melalui selang yang terdapat di mesin giling. Air berwarna kehijauan tersebut tertampung di teko plastik setinggi 30 sentimeter yang ia letakkan di bawah mesin pemeras.

Proses itu berulang kali dilakukan sampai batang tebu tak lagi mengeluarkan sari manisnya. Selanjutnya, air sari tebu tersebut dimasukkan kedalam kotak kaca berukuran 30X60 sentimeter yang sudah disiapkan di atas meja dagangan.

"Dengan ditambahi batu es, selain manis, air sari tebu ini juga segar. Apalagi jika dinikmati saat cuaca panas seperti sekarang. Manis dan segarnya dijamin asli," kata Sundari setengah berpromosi sambil memasukkan segenggam batu es kedalam gelas yang akan disuguhkan kepada pembeli.

Begitulah keseharian Sundari sebagai penjaja es tebu. Untuk menghindari hujan dan panas, wanita berambut seleher ini memasang payung berukuran lebar didekat gerobaknya. Pembeli yang datang pun bermacam-macam. Mulai pejalan kaki, pengendara motor, hingga membawa mobil. Maklum saja, satu gelas es tebu, Sundari hanya mematok harga Rp 1.000.

Seiring dengan menetesnya air tebu di mesin pemeras, Nasib ibu satu anak ini pun berubah. Dalam sehari ia mampu meraup keuntungan antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Bahkan jika pembeli cukup ramai jumlah itu bisa bertambah. Kondisi itu berbeda dengan sebelumnya, yakni ketika Sundari hanya menjadi ibu rumah tangga. Ia hanya sibuk mengurus anak dan suaminya. Tak ada penghasilan. "Saya baru tiga bulan berjualan es tebu," katanya berkisah, Jumat (3/12/2010).

Meski gerobak untuk berjulan es tebu terkesan sederhana, namun modal yang dikeluarkan untuk memulai bisnis manis itu tidak sedikit. Sundari menjelaskan, untuk membeli alat pemeras lengkap dengan diesel kecil, ia harus merogoh kocek sebesar Rp 3 juta. Belum lagi untuk membeli peralatan lainnya seperti gelas, gerobak dorong, serta meja-kursi dari plastik. "Kalau ditotal ya sekitar Rp 5 juta," ungkapnya merinci.

Sembari mengusap keringatnya, Sundari bercerita, jika cuaca panas, ia mampu menghabiskan 1 kwintal tebu per hari. Namun jika cuaca kurang bersahabat alias hujan, ia hanya mampu menjual setengahnya saja, yakni 0,5 kwintal. Ia lalu menjelaskan bahwa setiap kwintal tebu batangan harganya Rp 78 ribu.

Yang mencari bahan baku, kata Sundari, adalah suaminya sendiri. Jika di Jombang sulit mendapatkan tebu, maka suaminya akan mengambil tebu dari daerah Tulungagung. "Satu kwintal tebu yang sudah diperas, kemudian dijual dalam bentuk es tebu akan menghasilkan uang sekitar Rp 200 ribu. Lumayan hasilnya," kata Sundari dengan senyum terpulas.

Hari masih siang. Cuaca yang seharusnya panas perlahan berubah. Hal itu menyusul datangnya awan yang menutupi langit. Pembeli es tebu di gerobak Sundari mulai sepi. Meski demikian, ibu satu anak ini kembali menyalakan mesin pemeras. Air sari tebu kembali tertampung memenuhi teko. [suf]

Perlahan-lahan Sundari menuangkan air tersebut ke dalam gelas yang ia bawa. Sejurus kemudian, ia meneguk es tebu buatannya sendiri itu. Rasanya manis, semanis perubahan hidupnya

Fatimah dan Mukjizat Air Kelapa


FATIMAH adalah seorang petani tulen. Dalam hidupnya ia tak pernah membayangkan bisa naik pesawat terbang. Fatimah takjub, karena dari atas pesawat bisa melihat awan yang bergumpal mirip hamparan kapas.

Putih, halus, dan bersih. Dia juga bisa melihat perumahan warga yang bentuknya mirip kertas berserakan. Atau tiba-tiba ia hanya melihat pemandangan putih, luas, tanpa batas.

Namun dibalik rasa takjub itu terselip juga kegundahan. Berada di awang-awang ditambah dengan dinginnya AC yang menusuk tulang tak ubahnya sebuah siksaan. Jika tiba-tiba pesawat terbang rendah, perut Fatimah seperti diaduk-aduk. Begitu juga ketika pesawat terbang melaju menembus awan. Wanita berusia sekitar 35 tahun ini berkali-kali harus memejamkan mata. "Rasanya ingin muntah saja," katanya mengeluh.

Nah, begitu turun di bandara Sepinggan Balikpapan, hati Fatimah girang bukan kepalang. Senyum terpulas di bibirnya. Ya, ibu satu anak ini terbebas dari 'siksaan' selama dua jam di atas burung besi. Meski demikian, ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang pucat pasi. Apalagi, naik pesawat terbang adalah pengalaman pertama bagi petani tulen asal Desa Jatimlerek Kecamatan Plandaan, Jombang ini.

Fatimah merupakan salah satu anggota rombongan KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) Kabupaten Jombang yang menghadiri Penas (Pekan Nasional) ke-13 di Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimatan Timur (Kaltim) yang dihelat mulai 18 - 23 Juni 2011 lalu.

Mulai berangkat, ibu satu anak ini tersenyum gembira. Pasalnya, dalam momen tersebut dirinya bisa bertukar pikiran dengan petani se-Indonesia. Ia juga bisa bertatap muka dengan para menteri bahkan juga presiden beserta wakilnya secara langsung.

Namun angan-angan ketua kelompok tani perempuan Desa Jatimlerek ini membeku oleh dinginnya hawa AC (Air Conditioner) di pesawat terbang.Memang, kebanyakan orang lebih betah dengan dinginnya AC dari pada panasnya sinar matahari. Akan tetapi, bagi Fatimah yang seorang petani tulen, lebih berani menantang sengatan matahari dari pada belaian AC.

Sore mulai menjelang ketika mobil dari Balikpapan yang ditumpangi Fatimah bersama rombongan menembus gerbang kota Tenggarong. Sebuah kota kecil namun bangunannya mentereng. Di kota itulah pemerintahan Kabupaten Kukar dikendalikan. Ada kantor bupati, kantor DPRD, dan kantor pemerintah lainnya. Sungai Mahakam membelah kota yang notebene bekas pusat kerajaan Kutai tersebut.

Singkat cerita akhirnya rombongan menemukan pemondokan yang disediakan oleh panitia, tepatnya di Kecamatan Rempanga. Di tempat itulah Fatimah bersama rombongan menginap selama beberapa hari. Pemondokan tersebut merupakan rumah tinggal warga setempat. Rumah itu terbuat dari kayu ulin. Ditata sedemikian rapi oleh empunya.

Keluar dari mobil, wajah Fatimah masih pucat, rambutnya acak-acakan. Bukan hanya itu, ibu satu anak ini juga mengalami muntah-muntah hebat. "Di pesawat dan di mobil terkena AC terus, saya tidak kuat. Kepala saya pusing, perut mual-mual," ujar Fatimah lirih.

Pun demikian, warga Jatimlerek ini tak ingin menyusahkan rombongan. Ia bersikeras bahwa masih kuat mengikuti kegiatan. Hal itu dibuktikannya dengan tetap mengikuti agenda kegiatan keesokan harinya di Stadion Aji Imbut, Tenggarong. Puluhan ribu manusia menyemut di stadion yang pernah dijadikan ajang PON (Pekan Olahraga Nasional) itu.

Ada pameran pertanian dan peternakan, ada dialog interaktif petani, ada pula seminar dengan pembicara seorang menteri. Nah, ditengah-tengah acara Fatimah tak kuat. Tubuhnya yang tidak fit semakin 'terjepit'. Selanjutnya, ia minta diantar menuju pemondokan tempat menginap yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari lokasi acara. Dia ingin istirahat memulihkan stamina.

Acara usai. Peserta kembali ke tempat menginap masing-masing. Fatimah yang pulang lebih awal masih terkulai. Sudah begitu, ia terus muntah tak berkesudahan. Karena takut terjadi sesuatu, ibu satu anak ini akhirnya dilarikan ke RSUD Parikesit Tenggarong. Seorang dokter langsung menanganinya. Tekanan darah dan detak jantungnya diperiksa. Semuanya normal, tidak ada yang keganjilan.

Dokter berencana memasang selang infus di tubuh Fatimah. Hanya saja, petani ini hanya menggelengkan kepala. Begitu juga ketika dokter hendak memberikan obat lewat jarum suntik. "Maaf dari kecil saya tidak pernah suntik," katanya menolak keinginan dokter.

Sebelum meninggalkan halaman rumah sakit, Fatimah mendapatkan segepok obat. Dia berharap aneka macam obat itu bisa mengusir penyakitnya. Akan tetapi, kondisi Fatimah tak banyak berubah. Nah, dalam kondisi darurat itulah ketua kelompok tani perempuan ini ingat mukjizat air kelapa. Air yang selalu ia minum jika tubuhnya ngedrop.

Seteguk demi seteguk air dari kelapa hijau itu mengalir di tenggorokannya. Dan beberapa jam kemudian senyum Fatimah mulai mengembang. Tubuhnya yang sebelumnya lunglai, perlahan-lahan seperti menemukan kekuatan baru. "Dari dulu kalau tubuh saya sakit, ya hanya minum air kelapa muda. Alhamdulillah rasa mual sudah hilang," katanya bangga.[]

Kukar Kaltim, Juni 2011

Selamat Jalan Kawan Feraz..


Aku mengenalmu dilereng Gunung Merapi. Ketika gunung itu sedang menyemburkan guratan merah. Sekitar sepekan, kita menyusuri punggung Merapi. Kita sama-sama berharap akan lahir kader pergerakan yang progresif. Meski peristiwa itu 10 tahun yang lalu atau tahun 2001, namun teriakanmu ditengah hutan itu masih bergema.

Ironis, gema itu tiba-tiba redup pada 8 Juni 2011 selepas Magrib. Semua itu berawal dari dua SMS yang mampir di ponselku. SMS yang dikirim oleh dua kawan tersebut bahasanya berbeda tapi intinya sama. Sebuah kabar kematian. Abdul Rakhman Feras, meninggal dunia di RS Pertamina Jakarta. Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un.

Awalnya aku tak percaya kabar itu. Namun setelah aku mengintip sebuah dinding FB, aku lihat ucapan duka membanjir di dinding itu. Ya, aku yakin Tuhan telah memanggilmu. Karena gagal jantung, nasibmu kurang beruntung.

Mengingat kematian hanya membuat gurat-gurat kesedihan. Untuk itu, aku tak ingin berbicara tentang detik kematianmu. Aku lebih suka bercerita ketika kamu hidup, ketika kita membangun dinamika di lereng Merapi. Maklum, sepekan di lereng Merapi, mantra pergerakan selalu engkau wiridkan.

Sepuluh tahun yang lalu, aku lupa bulan apa. Saat itu hari mulai merayap petang ketika rombongan dari gang Rode Yogyakarta menginjakkan kaki di rumah juru kunci Gunung Merapi, almarhum Mbah Marijan. Malam itu pula, kita melahap materi-materi bernafas kiri.

Esoknya, punggung Merapi kita susuri. Engkau berjalan paling depan. Kepalamu dililit bandana, tubuhmu terbalut raincoat. Sepanjang perjalanan, suaramu lantang menebar semangat 'Tak Kan Mundur Walau Terbentur - Tak Kan Mengeluh Walau Terjatuh.

Namun sekali lagi, semua itu berubah pada Rabu petang kemarin. Ketika dua SMS parkir di ponselku. Isinya, tentang kabar kematianmu. Aku tak bisa membayangkan tubuh kekarmu terbalut kafan putih. Selamat jalan kawan Feras. Ternyata sekat antara hidup dan mati tak setebal kain kafan. [yusuf wibisono]

Sabtu, 19 Maret 2011

Koalisi, Isi Kuali, atau.....

Hingar bingar kata koalisi kembali terdengar di kalangan elit. Akibat kata-kata itu, ada yang terdepak ada yang retak. Karena kata-kata itu pula, ada yang merapat ada yang tercekat. Apalagi, media terus menggelindingkannya. Tentu saja, bola koalisi semakin panas.

Itu yang diatas sana. Lantas bagaimana yang dibawah? Tidak kalah panasnya. Namun yang pasti bukan karena mantra koalisi. Panasnya kondisi dibawah lebih dipicu oleh persoalan isi kuali (baca: pangan). Ya, petani sedang lesu. Kebijakan impor beras dengan bea masuk 0 persen sebagai pemicu.

Dampaknya lumayan dahsyat. Gara-gara kebijakan itu, harga gabah kering terjun bebas dari Rp 3.400 menjadi Rp 2.600. Padahal, saat ini petani sedang panen raya. Jika sudah demikian, maka isi kuali pak tani bisa terancam. Belum lagi dengan adanya 'salah mangsa'. Lengkap sudah penderitaan pak tani.

Sungguh ironis. Para elit politik justru sibuk bertarung membangun blok koalisi. Blok mana layak dipukul dan kubu mana yang sudah waktunya dirangkul.

Memang, dalam wilayah politik, koalisi adalah sebuah kelaziman. Koalisi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan atau kabinet dari partai yang memiliki suara di parlemen. Hanya saja, jika kita bercermin secara utuh, sejarah koalisi di negeri ini adalah koalisi yang sakit.

Mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi.

Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi.

Terakhir, minimal range coalition dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet.

Kuskridho Ambardi, dalam bukunya yang berjudul 'Mengungkap Politik Kartel (2009)' menjelaskan, pola-pola koalisi yang dibangun di parlemen dan pemerintahan kurang sesuai dengan teori-teori koalisi pada umumnya. Nah, hal itulah yang akhirnya melahirkan politik kartel. Sistem ini digunakan untuk meminimalkan kerugian pihak yang kalah, entah dalam pemilu atau dalam koalisi.

Kartel lebih mengutamakan mekanisme perangkulan (incorporation) dari elite yang memiliki latar belakang ideologi yang berbeda. Dalam politik kartel, dorongan berpartisipasi dalam kabinet dan struktur kepemimpinan di komisi, misalnya, adalah karena kepentingan partai-partai untuk mengamankan kebutuhan finansial bersama.

Tidak salah jika apa yang terjadi saat ini mencerminkan sebuah kepentingan pragmatis yang jauh dari unsur ideologis. Partai oposisi versus partai pemerintah yang sebelumnya begitu sengit berkompetisi di satu hal akan dengan mudah menjadi kooperatif dalam hal lain. Begitu juga sebaiknya.

Intinya, mereka terlibat di pemerintah atau parlemen bukan demi perjuangan program atau ideologi partai, melainkan patut diduga demi mengamankan sumber-sumber finansial.

Menurut buku hasil disertasi ilmu politik dari The Ohio State University ini, gejala kartelisasi parpol telah muncul usai pemilu 1999. Persaingan (terutama isu agama) yang begitu sengit selama masa kampanye mendadak terhenti ketika pemilu berakhir. Kondisi itu semakin nyata dalam pembentukan dua kabinet (periode 1999-2004) yang tak selaras dengan teori koalisi berbasis ideologi maupun koalisi kemenangan-minimal.

Kabinet Persatuan Nasional semasa KH Abdurahman Wahid dan Kabinet Gotong Royong di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri bukan berdasarkan kesamaan ideologi. Karena semua partai bergabung dalam kabinet, maka teori kemenangan-minimal juga gagal menjelaskan tindak-tanduk partai dalam berkoalisi.

Pola interaksi antarpartai pada Pemilu 2004 setali tiga uang. Isu keagamaan tetap jadi isu dominan pada masa kampanye. Namun, persaingan antar partai tetap berakhir dengan cara serupa. Begitu partai-partai meninggalkan gelanggang pemilu, ideologi pun dibuang. Indikasi itu terlihat dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dibawah SBY-JK. Kabinet tersebut bukan jenis koalisi berbasis ideologi. Mengapa? karena formasi kabinet merupakan campuran antara partai sekuler dan partai Islam.

Teori koalisi kemenangan-minimal juga gagal menjelaskan koalisi di parlemen. Pasca kekalahan Megawati-Hasyim pada pilpres putaran kedua, sebagian besar partai eks-Koalisi Kebangsaan (kecuali PDIP) bergabung dengan pemerintah. Meski PDIP berada di luar pemerintahan, buku ini mencatat, partai berlambang banteng gemuk ini gagal menjadi oposisi. Pasalnya, PDIP bergabung dengan partai-partai lain untuk membentuk kembali kartel demi mendapatkan jatah posisi pimpinan di tingkat komisi di DPR.

Bagaimana dengan koalisi saat ini? Sepertinya tak jauh beda. Karena idealnya, kompetisi antar parpol itu konsisten di berbagai arena politik (pemilu, pemerintahan dan parlemen). Bila suasana kompetisi konsisten di berbagai arena politik akan terdapat tautan elektoral di antara partai-partai sebelum pemilu dan pasca pemilu. Dengan demikian, kaitan antara ideologi, pola koalisi, proses kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi jadi lebih bermakna. Tapi, hal itu sepertinya belum terasa.

Jika sudah demikian, maka bersiap-siaplah kita melihat tontonan menarik, yakni se-ekor keledai yang duduk diatas kursi roda dengan sejumlah balutan perban ditubuhnya. Dengan kata lain, keledai ini jatuh lebih dari dua kali di lubang yang sama. Sangat-sangat bodoh, bukan? [yusuf wibisono]


Rubrik Sorotan beritajatim.com - 8 Maret 2011