Minggu, 24 Oktober 2010

Puasa dan ‘Keong’ Sosial



Antara puasa Ramadan dan keong jelas tidak ada ada kaitannya. Namun saya sengaja memasang judul itu. Bukannya latah dengan fenomena ‘Keong Racun’ yang menyebar akhir-akhir ini. Namun keong yang saya maksud adalah sebuah perumpamaan dari cangkang yang melindungi hewan avertebrata tersebut. Dengan cangkang, se-ekor keong akan terlindungi dari cuaca dan ancaman. Sehingga mampu membangun daya hidup.

Begitu pula dengan manusia. Ia juga membutuhkan cangkang. Namun yang dibutuhkan oleh manusia adalah cangkang (baca, keong) sosial. Jika cangkang sosial itu tumbuh, maka kekuatan yang bisa menggerakkan perubahan akan terwujud. Akan tercipta sebuah kondisi saling toleransi, yang kuat melindungi yang lemah. Ya, bergandeng tangan dalam solidaritas sosial.

Lantas apa hubungannya dengan puasa Ramadan? Menunaikan ibadah puasa sebenarnya memiliki makna yang sangat luas. Tidak cukup kiranya hanya menafsirkan ibadah puasa sebagai kegiatan ritual semata. Lebih dari itu.

Selama ini seringkali kita memaknai puasa dalam bingkai relatif sempit. Dimana puasa hanya dimaknai secara vertikal. Dalam arti, sebuah garis lurus yang ditarik keatas, yakni hubungan kita dengan sang Pencipta yang telah menjanjikan pahala. Dalam tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar puasa dalam artian itu. Sudah terlalu banyak yang mengupasnya.

Satu hal tidak kalah penting dalam ibadah puasa adalah makna horizontal yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, dalam ibadah puasa juga terdapat hubungan kita dengan “kita” yang lainnya. Jadi ada dua kutub dalam ibadah puasa yang selalu berjalan seiring. Dua hal itu dalam ajaran Islam kerap disebut Habluminallah dan Habluminannas.

Upaya yang dilakukan orang berpuasa adalah menahan lapar dan haus sejak fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan sebelum bulan Ramadan berakhir, kita juga diwajibakan untuk membayar zakat. Hal itu sebenarnya sebagai alarm agar kita selalu ingat akan penderitaan orang lain. Merasakan lapar dan haus sayogyanya memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan kaum papa. Sebab, pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam. Sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir.

Ironisnya, tidak jarang kita berperilaku kurang etis dengan mengatas namakan puasa. Perilaku itu nyata terlihat semisal dengan melambungnya tingkat konsumsi masyarakat pada saat bulan Ramadan. Pendek kata, kita hanya menjadikan waktu berbuka dan sahur sebagai ajang ‘balas dendam’ setelah ‘kelaparan’ sehari penuh.

Padahal, tidak menutup kemungkinan pada saat yang sama, ada jutaan saudara kita yang benar-benar kelaparan. Perut mereka keroncongan bukan saat bulan puasa saja, tetapi juga sebelumnya dan bahkan mungkin juga sesudahnya. Sedangkan kita, saat malam tiba, asyik bersantap dibawah panji konsumerisme. Atau lebih ekstrim lagi, puasa hanya sekedar berubahnya jadwal makan.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya kedatangan bulan Ramadan ini mampu menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas sosial kita kepada kaum dhuafa (kaum lemah) dan kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Apalagi, bangsa ini tengah menghadapi realitas tingginya angka kemiskinan, tak terkecuali di Jombang.
Dalam sebuah kesempatan, bupati Jombang Suyanto pernah mengungkapkan, di kabupaten Jombang masih ada sekitar 72 ribu KK (Kepala Keluarga) yang masuk dalam kategori miskin. Dari jumlah itu ada sebanyak 9.800 rumah tangga tidak layak huni. Kemudian, 1.900 KK yang masuk kategori very poor (sangat miskin). Tidak cukup sampai disitu, bupati juga menyebut bahwa masih ada lagi 32 Ribu KK yang masuk dalam kategori miskin produktif. Dalam arti, meski miskin, mereka masih mampu mengakses pekerjaan.

Artinya, upaya untuk menumbuhkan solidaritas sosial harus terus dilakukan mengingat masih tingginya angka kemiskinan itu. Sebenarnya, tidak terbatas pada bulan Ramadan saja, namun bulan suci ini hanya sebagai gerbang untuk menumbuh kembangkan solidaritas tersebut. Nah, jika sudah demikian, maka ibadah puasa bukan hanya mengejar kesalehan pribadi namun juga berjalan seirama dengan kesalehan sosial. Nyatalah kemudian bahwa kita berpuasa bukan semata linear urusan vertikal transendental, tapi juga horisontal sosial.

Atau, meminjam istilahnya Abdul Munir Mulkhan, substansi puasa ialah pengendalian diri baik secara fisik maupun spiritual dengan maksud pengembangan fungsi sosial bagi kepentingan orang banyak yang lebih membutuhkan. Selamat berpuasa. [Yusuf Wibisono]

*Tulisan ini dimuat di Harian Radar Mojokerto (Jawa Pos Group), Sabtu (28/8/2010) di rubrik Kalam Ramadan

Tidak ada komentar: