Kamis, 11 Maret 2010

Dulu Mitan Sekarang Elpiji - Dulu Demonstran Sekarang Menteri

Namanya Tarkicuk. Tubuhnya tambun, kepalanya plontos. Aku tidak tahuberapa persis usianya. Namun aku memperkirakan usia Tarkicuk 40 tahun. Di kalangan aktivis 90-an, utamanya di Jombang, nama Tarkicuk tidak asing lagi. Sejumlah poster dan spanduk yang dibawa saat turun jalan adalah hasil karyanya. Pria tambun ini selalu berada dibarisan depan ketika aksi. Pentungan polisi sudah akrab menggebuknya. Dicari-cari intel sudah menjadi langganannya.

Lipatan waktu terus berganti. Roda nasib juga berputar. Sang diktator Soeharto sudah tumbang. Namun nasib Tarkicuk tetap mengambang. Saat kawan seperjuangannya sudah sukses, pria kelahiran Jawa Tengah ini tak banyak berubah. Ia belum punya pekerjaan tetap. Kesehariannya, hanya membantu mertuanya yang membuka warung kecil-kecilan di pinggiran kota. Tarkicuk tetap bertahan dengan kesederhanaannya.

Saat matahari mulai terik ia bercerita, kawannya sesama demonstran banyak yang suskes. Ada yang menjadi sekjen partai, pentolan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), anggota dewan, serta pengusaha. Yang mengagetkan lagi, baru-baru ini ada kawannya yang diangkat menjadi menteri oleh presiden SBY. Padahal, saat menjadi mahasiswa, Tarkicuk-lah yang menggodok dan menggembleng kawannya itu. Mulai dari manajemen aksi hingga teknik berorasi.

"Dulu yang ngajari dia jadi demonstran itu saya. Alhamdulillah, sekarang sudah menjadi menteri. Ibarat kata, dulu mitan sekarang elpiji. Dulu demonstran sekarang menteri," kata Tarkicuk saat menyaksikan pelantikan temannya menjadi menteri lewat layar televisi.

Sambil mengepulkan asap rokok kretek, Tarkicuk melanjutkan ceritanya. Seputar suka duka bersama sang menteri ketika menjadi mahasiswa. Menurutnya, dari dulu temannya itu paling pinter baca peluang. Satu yang tetap ia ingat, sang menteri paling malas jika disuruh membikin spanduk tuntutan. Tapi soal diskusi, kawannya itu paling jago. "Sudah lama saya tidak ketemu. Mungkin sudah lupa. Apalagi sudah jadi menteri," katanya dengan nada pasrah sembari matanya terus memelototi layar televisi.

Meski pandangannya ke arah layar kaca, namun pikiran Tarkicuk mengembara ke masa lalu. Masa ketika ia menjadi kelompok yang kerap disebut agent of chage alias agen perubahan. Saat itu, ia bersama aktivis lainnya selalu menerikkan perlawanan kepada sistem yang menindas. Solidaritas dengan kaum buruh ia bangun, solidaritas dengan kaum tani ia tumbuhkan. "Petani di gusur, buruh ditindas, pers dibungkam, mahasiswa ditangkap. Hanya ada satu kata lawan !!," kata-kata itulah yang selalu berdengung di telinganya.

Pernah satu ketika Tarkicuk di bidik polisi. Sebab ia membuat stiker dan selebaran yang menghina pemerintah. Yakni, soal tindakan aparat yang anarkhis terhadap kaum buruh. Ribuan buruh di hantam dengan popor senjata pada suatu senja. Tarkicuk dan kawan-kawannya tidak terima. Orang kecil ditindas, orang besar kipas-kipas. Darah muda mereka bergejolak. Sumpah Mahasiswa di ucapkan, aksi turun jalan di lakukan., stiker dan pamflet bertebaran. Dan buruh-mahasiswa bergandeng tangan.

Pada satu titik tertentu Tarkicuk sadar, tidak selamanya menjadi mahasiswa. Setelah kuliahnya memakan waktu yang cukup lama, yakni 10 tahun, akhirnya ia ikut wisuda. Ya, gelar sarjana diraihnya dalam waktu 10 tahun. Pensiun dari mahasiswa, kedua orang tuanya bangga. Namun pria yang gemar rokok kretek ini justru merana. Aktivitas tidak ada. Ia pun banting setir ke jalur LSM bersama aktivis lainnya. Karena tidak ada founding yang jelas, akhirnya lembaga itu gulung tikar. Tarkicuk jatuh terkapar.

Seluruh kawannya pergi entah kemana. Ada yang menempuh jalur partai, ada yang membangun lembaga lagi, ada yang membuka usaha konveksi, bahkan ada yang rela menjual ideologi. Tarkicuk patah semangat, ia lebih memilih menikah dengan anak Mbok Ami yang notabene warung makan langganannya. Kesehariannya, ia membantu warung di pinggiran kota itu.

Sebenarnya ia pernah mencoba peruntungan ke partai. Yakni ikut daftar sebagai caleg. Sosialisasi ia lakukan. Poster, stiker, kalender, disebarkan. Harapannya, ia bisa duduk manis di gedung dewan. Selain itu, pihaknya juga bisa menyaingi kesuksesan kawan-kawannya yang lebih dulu menempuh jalur itu. Akan tetapi, roda nasib menggelinding ke arah yang berbeda. Mantan aktivis ini terlempar keluar dan gagal. Tarkicuk membantu mertuanya lagi. Sejak itu nasibnya tidak berubah.

Dari layar kaca, presiden SBY membaca sambutan. Puluhan menteri yang baru dilantik asyik mendengarkan. Mata Tarkicuk tak berkedip melihat acara yang disiarkan secara langsung itu. Ia seolah ingin memberi ucapan selamat kepada kawannya yang sedang duduk di kursi empuk. Sambil menjabat tangannya ia akan berbisik lirih: "Dulu Mitan Sekarang Elpiji". Namun hayalannya itu mendadak buyar ketika mertuanya yang cerwet datang.

Dengan teriakan lantang, Mbok Ami menyuruh menantunya itu untuk mengambil tabung elpiji beserta kompornya ke rumah Pak RT. Maklum, baru dua hari ini kampung Mbok Ami dilewati program konversi dari mitan ke elpiji. Dengan membawa KK (Kartu Kelurga) Tarkicuk langsung berangkat ke rumah Pak RT yang berjarak sekitar 1 Kilometer. Pelantikan menteri di layar televisi ia tinggalkan.

Tak berselang lama, Tarkicuk sudah kembali dengan membawa tabung elpiji ukuran 3 Kg beserta kompornya. Selanjutnya, seluruh peralatan masak itu ia serahkan kepada mertuanya. Sambil memandangi tabung elpiji, hati kecil Tarkicuk kembali berkata,"Dulu Mitan Sekarang Elpiji, Dulu Demonstran Sekarang Menteri,”.

Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Layar televisi perlahan padam, Mbok Ami kembali ke warung, Tarkicuk duduk termenung. Tidak ada Tanya, tidak ada jawab. [Yusuf 2Mao]

Tidak ada komentar: