Kamis, 21 Oktober 2010

Ponari Putra Petir


SEPEKAN terakhir ini ada fenomena menarik yang muncul dari kota santri Jombang. Yakni, seorang bocah yang masih duduk di kelas III SD.

Bocah yang tinggal di Dusun Kedungsari Desa Balongsari Kecamatan Megaluh ini sejak kecil hidup dalam himpitan kemiskinan. Ia adalah Muhammad Ponari.

Ia mampu menjadi magnet bagi orang yang menderita penyakit. Mereka yang datang rata-rata percaya bahwa penyakitnya akan berangsur sembuh usai meminum air yang sudah dicelupkan batu lonjong berwarna coklat yang katanya bertuah milik bocah tersebut.

Tak pelak, setiap hari rumah milik keluarga Ponari yang terbuat dari bambu dan berlantai tanah selalu dikerubuti massa. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai puluhan ribu.

Lumrah memang. Karena dalam memberikan pengobatan, anak pasangan Komsin dan Mukaromah ini tidak menarik bayaran. Ia hanya menyediakan kotak amal jika ada yang ingin memberikan ucapan terima kasih, jumlahnya pun tidak boleh lebih dari Rp 15 ribu.

Pro–kontra seputar Ponari pun bermunculan. Para ulama di Jombang khawatir cara pengobatan Ponari bisa menyeret kearah syirik. Lain lagi dengan kaca mata para dokter, mereka melihat cara pengobatan bocah yang masih lugu itu tidak ilmiah. Sedangkan kelompok paranormal mengigau bahwa Ponari adalah titisan Ki Ageng Selo, pendekar penjinak petir.

Terlepas dari itu semua, seharusnya kita lebih peka terhadap sesuatu yang bisa diraba dengan mata telanjang. Satu hal yang membuat kening kita berkerut, rata-rata yang datang ke Dusun Kedungsari dan berharap kesembuhan dari Ponari adalah mereka yang garis ekonominya menengah kebawah.

Selain itu, mereka juga sudah frustasi dengan pengobatan medis. Singkat kata, rakyat miskin sudah tidak mampu lagi merogoh kantung karena mahalnya biaya dokter dan mahalnya harga obat. Alhasil, ditengah kondisi tersebut munculah sosok Ponari dengan batu 'saktinya'.

Tak ayal, kehadirannya ibarat oase yang berada di tengah padang pasir. Puluhan ribu orang langsung menyemut menantikan tetesan air 'sakti'. Ponari pun menjadi magnet bagi mereka.

Memang, biaya untuk berobat kita saat ini terus meroket. Lebih ironis lagi, sudah mahal jumlah dokter juga sangat terbatas. Tenaga medis ini hanya ada di wilayah kecamatan. Artinya, ribuan orang yang tersebar di area satu kecamatan hanya dilayani oleh satu orang dokter. Bagaimana bisa rakyat miskin yang hidup terpencil mendapat pelayanan dari seorang dokter secara cepat dan intensif ?

Jawabannya dapat ditebak, mereka harus siap kehilangan hak kesehatannya. Dan pada akhirnya, penduduk miskin tidak lagi ada sandaran untuk menikmati hidup sehat. Nah, jika sudah demikian, apakah pembangunan sektor kesehatan sudah pro rakyat?

Jika kita mau jujur, berbicara masalah kesehatan yang pro rakyat tidak bisa hanya dinilai dari selembar kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin) dan menjamurnya Puskesmas. Tetapi juga harus memikirkan akses jalan yang rusak dan tidak layak untuk dilewati. Apagunanya kita punya ribuan rumah sakit dengan peralatan serba canggih dan biayanya murah, namun untuk menuju tempat tersebut sulit ditempuh.

Sangat naif jika hak rakyat untuk menikmati hidup sehat hanya direalisasikan dengan selembar kartu Jamkesmas. Sebuah kebijakan pragmatis. Sudah selayaknya kita belajar dari negerinya Fidel Castro, Kuba. Pembangunan sektor kesehatan di negeri penghasil tebu ini lebih santun. Mereka memberlakukan medicos familiars atau dokter keluarga. Artinya, satu orang dokter bertanggungjawab atas satu kampung. Setiap hari para dokter ini berkeliling untuk memantau kesehatan warganya. Sehingga setiap ada keluhan dari masyarakat terkait kesehatan selalu terpantau.

Munculnya fenomena Ponari dengan batu 'saktinya' minimal harus menjadi kaca benggala atas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Masih segar dalam ingatan kita, gara-gara berdesakan untuk mendapat kesembuhan dari dukun cilik itu, dua orang manusia meregang nyawa. Sekali lagi, ini adalah cambuk bagi sistem kesehatan yang tidak pro rakyat. Atau kita harus menunggu Ponari-Ponari lainnya dengan korban yang lebih besar lagi? Semoga. (yusuf wibisono)

Jombang, 17 Februari 2009

Tidak ada komentar: