Selasa, 31 Juli 2007

Sang Kyai dan Tiga Setan



Sudah menjadi rutinitas, setiap malam Jum’at kampung sebelah sungai itu menggelar pengajian. Setiap malam Jum’at itu pula warga berbondong-bondong ke surau untuk mendengarkan ceramah yang di sampaikan Kyai Talkeh. Orang menyebut pengajian yang digelar sang Kyai dengan pengajian Sabrang Kali. Jujur diakui, ceramah yang disampaikan oleh Kyai kampung itu tak sehebat AA Gym, suara Kyai Talkeh tak sebening Ustadz Jefri. Kyai yang tak berjambang ini dalam penampilannya penuh dengan kesederhanaan. Bahkan para jamaah pengajian Sabrang Kali tidak usah repot-repot mencium tangan Sang Kyai seperti yang dilakukan kebanyakan orang pada seorang kyai


Meski Islamnya menggebu, Kyai Talkeh punya keyakinan bahwasannya Islam tidak harus berbau arab. Jenggot mesti panjang, ceramah mesti merujuk ayat atau Hadits, lauk yang disantap mesti halal, serta kudu punya semangat untuk meng-Islam-kan wong Londo. Baginya, dengan mentranformasikan ilmunya kepada masyarakat sekitar hal itu sama artinya dengan ibadah. Kyai kampung ini juga meyakini bahwasannya agama merupakan pembawa nilai humanistik-transendental seperti perdamaian, kerukunan, keadilan, dan keseteraan. Pendeknya, agama hadir di muka bumi dengan mengusung seperangkat ajaran yang selalu berkonotasi pada nilai-nilai kebajikan.


Karena itu, prilaku yang mengarah kepada kekerasan, terorisme, kedzaliman, keangkuhan, diskriminasi, intoleransi, oleh Kyai Talkeh dianggap sebagai contradicto in terminis dengan agama. Oleh karena itu, agama dalam kondisi apapun, oleh pemeluknya yang fanatik, harus dicitrakan sebagai pemilik kebenaran dan kesucian. “Biasanya, kaum beragama akan mengajukan alibi klasik; yang salah bukan agamanya tetapi pemeluknya”, tutur Kyai Talkeh pada suatu kesempatan ceramah.

Malam itu tikar pandan mulai dibeber tepat dihalaman surau, pertanda pengajian akan segera dimulai. Secara perlahan namun pasti, warga mulai berdatangan. Sama halnya dengan yang dilakukan Wak Kaji Clurut, malam itu ia datang dengan ditemani Kang Surogebleg. Seperti malam-malam pengajian sebelumnya Wak Kaji Clurut beserta krunya memilih tempat paling depan. Bukannya ingin mendapatkan barokah dari sang Kyai, tapi Wak Kaji punya tujuan lain yakni biar bisa nyruput kopi lebih banyak. “Ayo Kang Suro lungguh nang ngarep ae, koyo’e pengajian kate dimulai,” kata Wak Kaji sembari menarik tangan Kang Suro yang masih menjepit rokok klobot kesukaannya.


Dengan sedikit kaget Kang Surogebleg mengikuti ajakan seniornya. Ia segera mengayunkan langkah menuju depan surau tempat biasanya ia duduk. Riuh rendah para pengunjung mulai terasa, mereka seolah tidak sabar dan ingin segera mendengarkan ceramah yang di sampaikan Kyai Talkeh. “Lungguh ngriki mawon Wak Kaji, mangke nek terlalu ten ngajeng dikiro sampean sing kate ceramah,” celetuk Surogebleg sambil membenarkan letak sarungnya yang sering mlorot.


Tak lama berselang, suara kemlothak bakiak terdengar dari dalam rumah samping surau.. Suara itu semakin lama semakin keras. Para jama’ah pengajian Sabrang Kali sudah hafal, itu adalah suara bakiak yang biasa dikenakan Kyai Talkeh. Seperti di komado, pandangan para jama’ah tertuju pada asal suara itu hampir bersamaan. Dugaan mereka tidak meleset. Seorang yang rambutnya sudah mulai memutih dengan mengenakan sarung kotak-kotak muncul dari dalam rumah. Sambil sesekali membetulkan kopyah putihnya, ia segera menempati tempat duduknya. Dalam hitungan detik Kyai Talkeh sudah berada didepan para pengunjung. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap sang kyai dengan suara cemprengnya.


Mata sebagian pengunjung yang sudah terkantuk-kantuk seketika menjadi benter. Pandangan mereka konsentrasi ke depan. Nampaknya sang kyai sudah memulai ceramah ringannya. “Allah menciptakan tiga jenis setan di muka bumi ini. Watak dan karakter ketiga setan itu harus kita buang jauh,” katanya mengawali ceramah.


Wak Kaji Clurut dan Kang Surogebleg mulai hanyut dalam ceramah sang kyai, tidak jarang mulut keduanya mlongo pertanda konsentrasi dua orang jamaah pengajian Sabrang Kali itu memasuki stadium satu. Karena saking konsentrasinya tidak jarang pula rokok klobot kesukaan Kang Surogbleg tidak mengepulkan asap. “Tiga setan itu menopo kemawon pak kyai?,” tanya Kang Surogebleg tidak sabar bercampur heran.


Sembari terbatuk-batuk Kyai Talkeh segera menjawab kegundahan yang dirasakan oleh Kang Surogebleg. “Tiga setan itu atau yang biasa disebut tiga setan bumi adalah, pertama setan yang takut dibacakan ayat kursi, ke kedua setan yang takut dilempar kursi, dan yang terakhir setan yang takut kehilangan kursi. Jika tiga setan bumi itu melakukan koalisi maka sangat membahayakan keberlangsungan hidup umat manusia,” jawab Kyai dengan diplomatis.


Jawaban yang dilontarkan Kyai Talkeh ternyata membikin puyeng Wak Kaji Clurut. Dengan spontan Wak Kaji yang lumayan vokal ini hendak mengajukan pertanyaan. Namun belum sempat ia membuka mulut, orang yang ceramah didepannya sudah kesusu memberikan penjelasan. “Setan yang takut dibacakan ayat kursi adalah setan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Ia sudah ada sebelum Allah menciptakan Adam dan Hawa,” jelasnya. Selanjutnya, tambah sang kyai, setan yang takut dilempar kursi. Setan yang kedua ini adalah setan yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Setan tersebut juga sangat doyan makan, apalagi minuman keras dan obat-obatan terlarang ia sangat hobby. “Pokoke setan sing nomer loro iku senengane mo limo. Dadi sering ngrepotno wong liyo,” timpalnya.


Kang Surogebleg, Wak Kaji Clurut, serta puluhan jamaah pengajian sabrang kali semakin bersemangat memasang telinga mereka untuk mendengarkan penjelasan dari sang kyai. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening, seolah-olah para jamaah sedang merefleksikan dirinya masing-masing. Namun keheningan itu kembali mencair saat sang kyai membuka suara.


“Dan yang terakhir adalah setan yang takut kehilangan kursi. Setan jenis ini juga bisa dilihat dengan mata telanjang, ia akan mempertahankan kursi yang didudukinya dengan jalan apapun. Tak peduli jalan yang ditempuh itu bertentang dengan norma dan agama. Parahnya lagi, meski disekitarnya bau busuk kemiskinan sangat menyengat, setan ini tidak mau beranjak dari kursi. Ia lebih memilih ongkang-ongkang kaki sambil menikmati kue APBD,” jelas Kyai Talkeh dengan mimik serius. Kembali suasana menjadi hening. Tidak ada celotehan, tidak ada jawaban. Yang tersisa hanyalah tikar pandan yang ada di depan surau.


Senin, 30 Juli 2007

Demi Adipura Menindas Kaki Lima


Pagi itu udara begitu cerah, matahari sudah meninggi. Kerumunan massa yang jumlahnya lebih dari 100 orang bergerak merengsek menuju Kantor Pemerintah Kabupaten Jombang. Mereka membawa poster, spanduk, serta megaphone. Tidak hanya itu, disepanjang perjalanan kelompok massa yang mengaku dari komunitas Pedagang Kaki Lima (PKL) ini juga menyebarkan statement kepada setiap pemakai jalan. ”Kami menolak semua bentuk penggusuran. Tolong biarkan kami untuk mencari nafkah. Bagi kami, keamanan yang berujung ketakutan sama artinya dengan penindasan,” ungkap massa aksi yang berambut gondrong dalam kesempatan orasinya.

Menurut pemuda setengah baya ini, aksi turun jalan yang digelar oleh komunitas PKL bukan tanpa alasan. Hal itu dipicu oleh tindak sewenang-wenang yang dilakukan Pemkab setempat melalui perangkat keamanannya yakni Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Pemuda yang belakangan diketahui sebagai koordinator aksi tersebut menjelaskan, sejak satu bulan terakhir ini para PKL yang biasa menjajakan dagangan disepanjang Jalan Merdeka diliputi rasa tidak aman. Mereka selalu dikejar-kejar oleh petugas Satpol PP. Intinya, mereka dilarang berjualan di jalan protokol dengan alasan akan ada penilaian terkait penghargaan piala Adipura.

Praktis, kucing-kucingan antara PKL dengan Satpol PP menjadi pemandangan sehari-hari. Apabila datang petugas yang berseragam hijau tua layaknya tentara tersebut, PKL yang jumlahnya puluhan orang itu dengan segera membereskan barang dagangannya, lari dan sembunyi. Begitu sebaliknya, jika para petugas itu pergi, tanpa dikomando mereka kembali menggelar dagangan. Sebab jika hal itu tidak dilakukan maka barang dagangannya akan berpindah tempat ke kantor satpol PP sebagai barang sitaan. Akibatnya dapat ditebak, dapur rumah tangga akan malas ngebul sebab nafkah hasil jualan sirna. Belum lagi kebutuhan anak-anak mereka untuk sekolah. “Inilah wujud penindasan yang telah dilakukan oleh penguasa. Demi Adipura tega menindas kaki lima,” teriaknya dengan nada geram.

Menurut para PKL, Adipura hanyalah prestise bagi penguasa, sedangkan bagi rakyat kecil tidak berdampak apa-apa. Pendeknya, dampak Adipura baik sosial maupun ekonomi tidak pernah dirasakan oleh rakyat, bahkan cenderung merugikan. Bagimana tidak, untuk berjualan saja mereka diliputi rasa was-was.

Minggu, 29 Juli 2007

Demokrasi 'Kucing garong'



RefleksiPelaksanaan Pilkades Serentak di Kabupaten Jombang 

Pesta itu baru saja usai. Layaknya sebuah pesta, ia meninggalkan suka cita sekaligus duka cita yang teramat dalam. Bagaimana tidak, mereka yang sanggup merebut kemenangan dalam pesta itu bersorak dan bertepuk dada kegirangan. Tapi bagaimana dengan yang ditimpa kekalahan? Kita sudah dapat menduga, mereka akan menampakkan wajah yang tertunduk lesu, bahkan bukan mustahil akan mucul rasa dendam. Ternyata bukan hal yang mudah untuk menerima dengan lapang dada makna sebuah kekalahan. “Namun itu semua demi tegaknya demokrasi yang telah lama kita perjuangkan. Minimal akan ada pembelajaran di tingkat massa rakyat tentang proses berdemokrasi,” tutur salah seorang kawan dalam diskusi non formal diberanda rumah sembari mengepulkan asap rokoknya.

Kata-kata itu secara tidak sengaja membekas dalam benak pikiran saya. Entah mengapa selalu demokrasi yang dijadikan kambing hitam. Seandainya demokrasi itu punya nyawa saya yakin ia akan protes karena selalu dijadikan kambing hitam, bahkan lebih naif lagi jika demokrasi itu hitam sebelum menjadi kambing, ia pasti akan berontak. Atau bisa jadi demokrasi akan capek karena selalu dijadikan pembelajaran oleh bangsa ini. Padahal, demokrasi lahir jauh sebelum lahirnya bangsa ini. Sejak zaman Yunani ia dilahirkan, namun hingga era saat ini ia hanya dijadikan media pembelajaran.

Secara tidak sengaja pula muncul dalam benak pikiran saya bahwasanya demokrasi tidak sekerdil itu. Demokrasi bukan hanya bagaimana kita memilih seorang pemimpin secara langsung dengan prinsip one man one vote. Entah itu seorang Kepala Desa, Bupati, Gubernur, bahkan seorang Presiden sekalipun. Demokrasi juga bukan seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus menyediakan segudang pundi-pundi rupiah untuk diberikan kepada para pemilih.

Pemilihan kepala desa (pilkades) konon dianggap sebagai sirkuit demokrasi yang paling nyata di desa. Dalam arena itu terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat, serta pemilihan secara langsung. Tetapi harus jujur kita akui, dalam banyak kasus, pilkades yang berlangsung secara ‘demokratis’ sering harus dibayar dengan risiko politik yang sangat mahal. Kekerasan membuncah ketika kubu calon kades yang kalah melampiaskan kekecewaannya. Buntutnya adalah dendam pribadi yang terus dibawa, serta ‘perang dingin’ antar pendukung yang sebenarnya mereka saling bertetangga.

“Kekerasan pasca pilkades terjadi bukan karena resiko dari demokrasi, melainkan karena warga kurang memahami demokrasi,” kembali kata-kata kawan saya yang juga seorang aktivis partai itu berdengung di telinga. Secara tidak langsung jawaban itu sangat logis. Dalam kerangka normatif, kubu yang menabur kekerasan tersebut tidak bisa menerima kekalahan, atau tidak sportif.

Saya berkeyakinan bahwasannya kekerasan tentu tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Kekerasan tidak dilahirkan dari rahim demokrasi. Justru sebaliknya, demokrasi merupakan cara untuk mengatasi kekerasan. Sehingga tercipta tatanan masyarakat yang adil secara sosial, merata secara ekonomi, dan partisipatif secara politik.

Selain problem sosial, uang juga menjadi masalah tersendiri dalam pilkades, apalagi di desa-desa yang sangat ‘basah’. Setiap calon kades pasti mengeluarkan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit. Minimal, sekitar dua bulan penuh, calon kades harus merogoh koceknya untuk jamuan, uang makan, rokok, bensin, bayar dukun, dan lain-lain. Tragisnya hal itu dianggap sebagai kewajaran.

Bentuk uang lainnya yang kotor adalah praktek politik uang yang dikeluarkan oleh calon kades untuk membeli suara pemilih. Politik uang ini bukan fenomena asing lagi karena terjadi di banyak desa menggelar pilkades. Karena uang memegang peran penting dalam proses pilkades. Akibatnya, ketika seorang calon sudah terpilih menjadi kepala desa, maka dalam melaksanakan jabatannya ia akan bermetamorfosa menjadi ‘tukang palak’. Bagaimana tidak, uang yang sudah dikeluarkan untuk biaya pilkades oleh calon dianggap sebagai investasi. Praktis, ketika dirinya menjabat sebagai kades, ia akan berusaha dengan segaala cara untuk mengembalikan investasinya, tak peduli dengan cara menggarong sekalipun.

Itulah fenomena yang baru saja tergurat di Kabupaten Jombang Jawa Timur. Pesta ‘demokrasi’ ditingkat desa telah digelar secara serentak pada 22 Juli 2007 lalu. Tidak tanggung-tanggung sebanyak 286 Desa disibukkan oleh hajatan tersebut. Gayungpun bersambut, tercatat 1058 calon Kepala Desa dengan berbagai alasan menceburkan diri dalam pertarungan tersebut. Yang pasti dari jumlah itu telah mengerucut menjadi 286 orang. “Jika terpilih menjadi Kepala Desa, saya akan memajukan desa serta mengutamakan kepentingan masyarakat,” kata salah satu calon ketika memaparkan visi-misinya.

Dalam segi keamanan, aparat kepolisian baik dari Polres Jombang, Polwil Bojonegoro serta Polda Jatim diterjunkan. Karena sangat memalukan jika moment yang pertama digelar dikota santri ini berakhir dengan kerusuhan. Pucuk dicinta ulampun tiba. Tidak ada gejolak yang berarti, tidak ada sebutir pelurupun yang dimuntahkan. Meski demikian, bukan berarti pilkades di Jombang bebas dari problem sosial.

Sehari setelah pelaksanaan pilkades muncul pemberitaan di media massa yang membuat kening kita berkerut. Mulai dari gedung wakil rakyat dibanjiri pengaduan seputar kecurangan dalam pilkades, aksi penyegelan balai desa oleh sekelompok warga, aksi perusakan rumah seorang pendukung calon, hingga aksi nekat bunuh diri yang dilakukan seorang pendukung gara-gara calonnya kalah. “Saya sangat kecewa dengan hasil pilkades. Sudah habis sekitar Rp 300 Juta, ternyata calon saya kalah dalam pemilihan,” ungkap salah seseorang pendukung seusai mengadukan kecurangan pilkades di desanya ke DPRD setempat.

Apakah demokrasi harus dibayar semahal itu? Mulai dari kompleknya problem sosial hingga dihambur-hamburkannya materi. Saya sependapat dengan makalah yang pernah ditulis oleh Sutoro Eko dari Institute for Research and Empowerment (IRE) Sleman Yogyakarta. Bahwasannya demokrasi adalah cara atau seni “pergaulan hidup” untuk mencapai kebaikan bersama. Namun sayangnya, banyak orang memahami bahwa prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan individu. Untuk itu pihaknya menolak tegas pandangan kerdil tersebut. Prinsip dasar demokrasi, dalam pandangan Eko, adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak.

Senada dengan Sutoro Eko saya berkesimpulan, bahwasannya demokrasi bukan berarti kebebasan individu. Namun lebih mulia dari itu. Ia mampu menciptakan tatanan hidup dalam masyarakat. Jika demokrasi hanya melahirkan kekerasan dan problem sosial maka ‘demokrasi’ tak ubahnya seperti ‘kucing garong’.
Disini……………………