Minggu, 24 Oktober 2010

;;Kurusetra Industri::



INI bukan bukan padang Kurusetra, tempat Pandawa dan Kurawa berebut tahta. Juga bukan film laga India, dimana para pemainnya asyik berdendang setelah menendang. Bukan pula tiupan seruling untuk menjinakkan ular kobra. Bergoyang, mendesis, meliuk, hingga mematuk. Namun lebih dari itu. Batam adalah ironi. Batam adalah Kurusetra industri. Semuanya berawal dari "All Indonesia are stupid".

Sungguh ‘istimewa’, hanya dengan empat kata berbahasa Inggris, ribuan buruh Drydock mengamuk. Mereka membakar pabrik, membakar mobil, hingga menganiaya warga India.

Padahal, kata-kata “All Indonesia are stupid" bukanlah mantra sakti yang mampu menghipnotis. Ia hanya rangkaian kata biasa. Namun mengapa rangkaian 21 alphabet itu sanggup menyulut emosi para pekerja? Jawabnya sederhana, karena kata-kata itu lahir dari rahim industrialisasi. Lahir dari proses ketimpangan dan kemiskinan.

Selama ini Batam ibarat surga bagi para pekerja. Semua itu semakin klop dengan tingginya angka pengangguran di negeri ini. Wajah kota yang berbatasan dengan negera tetangga ini merias diri dengan bedak industri.

Sehingga muncul asumsi berangkat ke Batam adalah solusi. Pekerjaan dapat, uang pun tak akan tercekat.

Namun ironis, realitas di lapangan berbicara lain. Kita selalu membayangkan dengan adanya industrialisasi rumah berdinding bambu bisa berubah menjadi rumah beton dalam sekejab. Hanya dengan kata sim salabim. Omong kosong. Karena ini bukan panggung sulap.

Industrialisasi adalah keping mata uang yang bernilai ganda. Ia mampu melahirkan berbagai paradoks, salah satunya adalah perbedaan ekonomi. Kondisi ini sebenarnya sudah tercium tiga tahun yang lalu. Berdasarkan data di pemerintahan propinsi Kepri (Kepulauan Riau), angka kemiskinan dan pengangguran berada diatas nasional.

Dengan rincian, angka tingkat kemiskinan sebesar 21 persen, padahal kemiskinan secara nasional hanya 17,2 persen. Sedangkan angka pengangguran Propinsi Kepri mencapai 10,8 persen sementara secara nasional hanya 9,8 persen. Batam, Tanjung Pinang, dan sejumlah kota lainnya adalah wilayah yang masuk dalam propinsi tersebut.

Nah, dari situlah Batam menjadi ironi. Pada satu sisi ia terus merias wajah kota, namun pada sisi lain kemiskinan terus melanda. Pendek kata, dibalik pesonanya, ternyata Batam mengidap ‘sakit jiwa’.

Kondisi itu semakin kronis ketika para buruh tidak pernah dimanusiakan. Dalam arti, buruh hanya diperlakukan sebagai bawahan saja. Akibatnya, rasa kecewa, terpinggirkan, dan jengkel tersebut menggumpal hingga berubah menjadi bom waktu.

Gayung pun bersambut. Ketika bom itu menuggu pemantiknya, datanglah warga India. Dengan sekali ucap ‘All Indonesia are stupid’ bom waktu itupun meledak. Kerusuhan pecah. Drydock berubah menjadi merah.

Sekitar 20 mobil dibakar massa yang marah. Kantor dan gudang barang pun tak luput dari aksi kemarahan mereka. Sedikitnya 40 tenaga kerja asing terpaksa dievakuasi melalui jalur laut. Mereka menjadi sasaran amuk ribuan karyawan galangan kapal PT Naninda, Batam.

Ternyata,industrialisasi belum sepenuhnya menjadi kata sakti dalam menjawab kesenjangan dan kemiskinan. Justru sebaliknya, industrialisasi berpengaruh negatif terhadap keadilan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Ketika lahir, Batam didesign sebagai kawasan industri, namun dalam perkembangannya ia menjelma menjadi Kurusetra industri. Padang luas pembantaian ekonomi.[yusuf wibisono]

*Rubrik Sorotan www.beritajatim.com 24 April 2010

Tidak ada komentar: