Kamis, 11 Maret 2010

:: Kang Gotro Mencari Demokrasi ::

Kaki Kang Gotro terus mengayuh becak usangnya. Desah nafasnya yang ngos-ngosan berpadu dengan suara roda yang melindas batu jalanan. Ia yakin, uang Rp 20 Ribu yang dikantonginya sudah bisa membikin Yu Ginem, istri tercintanya tersenyum. Selanjutnya dapat dipastikan, dapur tukang becak ini akan ngebul. Sambal terasi, ikan asin, siap
untuk disantap.

Tidak seperti dua hari sebelumnya, sudah seharian mencari penumpang, Kang Gotro hanya membawa uang Rp 5 Ribu. Entah apa sebabnya, setiap penumpang yang turun dari bus selalu menggelengkan kepala ketika ditawari naik becaknya. Cobaan belum berhenti sampai disitu. Ketika pulang, uang selembar itu diserahkan kepada istri tercinta. Namun apa yang didapat, protes keras langsung meluncur dari bibir Yu Ginem yang seksi.

Langkah untuk merubah nasib sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh tukang becak ini. Namun semuanya sia-sia. Kang Gotro terlalu percaya dengan proses demokrasi. Dengan demokrasi ia yakin rumahnya yang reot bisa berubah menjadi istana. Becak kesayangannya bisa berubah menjadi mobil mewah. Dan tikus yang setiap hari menggerogoti ikan asin miliknya bisa ditumpas habis. Sekali lagi, semuanya hanya ilusi. Sebab, untuk sekedar membeli rokok saja, roda becak Kang Gotro harus berputar.

Harapan perubahan itu sejak empat tahun terakhir ini. Yakni, ketika jampi-jampi demokrasi mulai ditebar. Euforia langsung melanda. Pada tahun pertama digelar Pilkades, tahun kedua Pilbup, tahun ke tiga Pilgub, dan yang terakhir Pileg dan Pilpres. Praktis, sejak empat tahun terakhir itu pula, Kang Gotro terlena dengan banyaknya pil-pil tersebut. Namun ironis, semua hanya menjanjikan, semuanya hanya candu. Hanya berjanji dalam janji.

Pria bertubuh jangkung ini terus mengayuh pedal becaknya. Suara bel becak yang khas sesekali memecah keheningan. Dimata Kang Gotro, demokrasi itu sangat simple, yakni memilih pemimpin secara langsung. Tidak lebih dari itu. Maklum, penarik becak ini hanya tamatan SR alias Sekolah Rakyat. Sebenarnya, saat itu ia ingin melanjutkan sekolah lebih tinggi. Namun apa daya, keluarganya tak punya biaya. Orang tua Kang Gotro hanya seorang penjaja sumbu kompor dan karet kolor.

Dari empat kali proses demokrasi itu pikiran Kang Gotro mulai muncul benang merah. Dalam pilkades misalnya, ia berkesimpulan bahwasannya demokrasi itu sama artinya dengan uang Rp 10 Ribu. Betapa tidak, sehari sebelum pencoblosan, ia di datangi Man Jlitheng. Sembari menyerahkan amplop yang berisi uang Rp 10 Ribu, Man Jlitheng berpesan agar Kang Gotro memilih Tariman Bogel sebagai kades.

"Kalau Pak Tariman jadi kades, rumah sampean akan dibangun. Sudah bukan zamannya lagi rumah berlantai tanah, berdinding bambu. Selain itu, becak usang milik sampean juga akan diganti dengan mobil," kata Man Jlitheng, tim sukses kelas kampung kala itu sambil menghisap rokok kreteknya.

Namun ironis, setelah Tariman Bogel terpilih jadi kades, bahkan masa jabatannya hampir habis. Rumah Kang Gotro tidak berubah, berlantai tanah dan berdinding bambu. Lebih sakit lagi, belakangan ini ia baru mengetahui bahwasannya uang yang pernah diberikan oleh Man Jlitheng itu sebenarnya berjumlah Rp 20 Ribu. Tapi oleh tim sukses kelas kampung ini hanya di berikan sebesar Rp 10 Ribu. Sisanya dikorupsi.

Sedangkan dalam pemilihan bupati dan gubernur, Kang Gotro berkesimpulan bahwasannya demokrasi itu berarti beras 1 kilogram ditambah kaos yang bahannya dari kain penyaring tahu. Masih segar dalam ingatannya. Saat itu lewat tengah malam, Pak Kades membangunkannya dari mimpi. Setelah pintu dibuka Pak Kades menyerah bungkusan. "Jika ingin sejahtera pilih bupati dan gubernur yang gambarnya ada di kaos itu. Ingat !! gambar yang berjenggot. Sebagai awalan ini ada titipan beras," kata Pak Kades setengah berbisik.

Namun lagi-lagi Kang Gotro terlena, meski si jenggot terpilih sebagai kepala daerah, nasib Kang Gotro tak kunjung berubah. Jika penumpang becak sepi dan istrinya tidak bisa beli beras, Kang Gotro tetap saja ngutang sama Haji Manaf dengan bunga berlipat.

Giliran pileg dan pilpres. Demokrasi dalam dua momen ini menurut Kang Gotro tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, bahkan lebih parah. Demokrasi hanyalah sampah. Betapa tidak, disepanjang jalan tumbuh subur berbagai atribut partai. Di-perempatan kota, di tiang listrik, di poskamling, hingga di kantor desa, gambar wakil rakyat menterang. Setelah pesta usai, gambar-gambar itu semakin mengotori wajah kota. Akhirnya semuanya menjadi sampah.

Bagimana dengan pilpres? Bagi Kang Gotro, momen pilpres hanya ajang untuk menebar janji dan menjual gula-gula. Para calon sibuk berdebat di layar di televisi. Tim sukses sibuk membikin program, sambil mulutnya terus terbuka menanti jatuhnya permen demokrasi. Saking kesalnya, dalam pemilihan orang nomor satu di negaranya itu, Kang Gotro lebih memilih menjadi golput. "Kalau pemimpin yang saya pilih tidak amanah, saya takut terkena dosa politik," kata Kang Gotro sembari nyruput kopi di warung Bulik Siti.

Malam terus merayap. Uang Rp 20 Ribu di kantung Kang Gotro masih tersimpan. Hati tukang becak ini bertambah ceria karena dua kelok lagi sampai dirumah. Ia membayangkan, Yu Ginem sudah menyambutnya di depan pintu. Selanjutnya, uang itu akan langsung ia serahkan, dan Yu Ginem tertawa girang.

Lamunan Kang Gotro itu langsung buyar ketika didepannya meluncur mobil mewah dengan kecepatan tinggi. Pria ringkih ini kaget. Ia hilang keseimbangan. Dalam hitungan menit terdengar sebuah benturan keras. Kang Gotro terlempar, becak kesayangannya hancur, mobil mewah kabur.

Sekujur tubuh tukang becak ini bersimbah darah. Matanya sayu,. Perlahan tangan kanannya bergerak merogoh uang yang ia simpan di kantung. Sambil memegangi lembaran rupiah, Kang Gotro berkata lirih, “Ini semua gara-gara demokrasi”. Sejurus kemudian, matanya terkatup. Nafasnya tersengal-sengal. Kemudian lepas. Tukang becak ini mati seiring matinya demokrasi. [yusuf wibisono]

Dulu Mitan Sekarang Elpiji - Dulu Demonstran Sekarang Menteri

Namanya Tarkicuk. Tubuhnya tambun, kepalanya plontos. Aku tidak tahuberapa persis usianya. Namun aku memperkirakan usia Tarkicuk 40 tahun. Di kalangan aktivis 90-an, utamanya di Jombang, nama Tarkicuk tidak asing lagi. Sejumlah poster dan spanduk yang dibawa saat turun jalan adalah hasil karyanya. Pria tambun ini selalu berada dibarisan depan ketika aksi. Pentungan polisi sudah akrab menggebuknya. Dicari-cari intel sudah menjadi langganannya.

Lipatan waktu terus berganti. Roda nasib juga berputar. Sang diktator Soeharto sudah tumbang. Namun nasib Tarkicuk tetap mengambang. Saat kawan seperjuangannya sudah sukses, pria kelahiran Jawa Tengah ini tak banyak berubah. Ia belum punya pekerjaan tetap. Kesehariannya, hanya membantu mertuanya yang membuka warung kecil-kecilan di pinggiran kota. Tarkicuk tetap bertahan dengan kesederhanaannya.

Saat matahari mulai terik ia bercerita, kawannya sesama demonstran banyak yang suskes. Ada yang menjadi sekjen partai, pentolan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), anggota dewan, serta pengusaha. Yang mengagetkan lagi, baru-baru ini ada kawannya yang diangkat menjadi menteri oleh presiden SBY. Padahal, saat menjadi mahasiswa, Tarkicuk-lah yang menggodok dan menggembleng kawannya itu. Mulai dari manajemen aksi hingga teknik berorasi.

"Dulu yang ngajari dia jadi demonstran itu saya. Alhamdulillah, sekarang sudah menjadi menteri. Ibarat kata, dulu mitan sekarang elpiji. Dulu demonstran sekarang menteri," kata Tarkicuk saat menyaksikan pelantikan temannya menjadi menteri lewat layar televisi.

Sambil mengepulkan asap rokok kretek, Tarkicuk melanjutkan ceritanya. Seputar suka duka bersama sang menteri ketika menjadi mahasiswa. Menurutnya, dari dulu temannya itu paling pinter baca peluang. Satu yang tetap ia ingat, sang menteri paling malas jika disuruh membikin spanduk tuntutan. Tapi soal diskusi, kawannya itu paling jago. "Sudah lama saya tidak ketemu. Mungkin sudah lupa. Apalagi sudah jadi menteri," katanya dengan nada pasrah sembari matanya terus memelototi layar televisi.

Meski pandangannya ke arah layar kaca, namun pikiran Tarkicuk mengembara ke masa lalu. Masa ketika ia menjadi kelompok yang kerap disebut agent of chage alias agen perubahan. Saat itu, ia bersama aktivis lainnya selalu menerikkan perlawanan kepada sistem yang menindas. Solidaritas dengan kaum buruh ia bangun, solidaritas dengan kaum tani ia tumbuhkan. "Petani di gusur, buruh ditindas, pers dibungkam, mahasiswa ditangkap. Hanya ada satu kata lawan !!," kata-kata itulah yang selalu berdengung di telinganya.

Pernah satu ketika Tarkicuk di bidik polisi. Sebab ia membuat stiker dan selebaran yang menghina pemerintah. Yakni, soal tindakan aparat yang anarkhis terhadap kaum buruh. Ribuan buruh di hantam dengan popor senjata pada suatu senja. Tarkicuk dan kawan-kawannya tidak terima. Orang kecil ditindas, orang besar kipas-kipas. Darah muda mereka bergejolak. Sumpah Mahasiswa di ucapkan, aksi turun jalan di lakukan., stiker dan pamflet bertebaran. Dan buruh-mahasiswa bergandeng tangan.

Pada satu titik tertentu Tarkicuk sadar, tidak selamanya menjadi mahasiswa. Setelah kuliahnya memakan waktu yang cukup lama, yakni 10 tahun, akhirnya ia ikut wisuda. Ya, gelar sarjana diraihnya dalam waktu 10 tahun. Pensiun dari mahasiswa, kedua orang tuanya bangga. Namun pria yang gemar rokok kretek ini justru merana. Aktivitas tidak ada. Ia pun banting setir ke jalur LSM bersama aktivis lainnya. Karena tidak ada founding yang jelas, akhirnya lembaga itu gulung tikar. Tarkicuk jatuh terkapar.

Seluruh kawannya pergi entah kemana. Ada yang menempuh jalur partai, ada yang membangun lembaga lagi, ada yang membuka usaha konveksi, bahkan ada yang rela menjual ideologi. Tarkicuk patah semangat, ia lebih memilih menikah dengan anak Mbok Ami yang notabene warung makan langganannya. Kesehariannya, ia membantu warung di pinggiran kota itu.

Sebenarnya ia pernah mencoba peruntungan ke partai. Yakni ikut daftar sebagai caleg. Sosialisasi ia lakukan. Poster, stiker, kalender, disebarkan. Harapannya, ia bisa duduk manis di gedung dewan. Selain itu, pihaknya juga bisa menyaingi kesuksesan kawan-kawannya yang lebih dulu menempuh jalur itu. Akan tetapi, roda nasib menggelinding ke arah yang berbeda. Mantan aktivis ini terlempar keluar dan gagal. Tarkicuk membantu mertuanya lagi. Sejak itu nasibnya tidak berubah.

Dari layar kaca, presiden SBY membaca sambutan. Puluhan menteri yang baru dilantik asyik mendengarkan. Mata Tarkicuk tak berkedip melihat acara yang disiarkan secara langsung itu. Ia seolah ingin memberi ucapan selamat kepada kawannya yang sedang duduk di kursi empuk. Sambil menjabat tangannya ia akan berbisik lirih: "Dulu Mitan Sekarang Elpiji". Namun hayalannya itu mendadak buyar ketika mertuanya yang cerwet datang.

Dengan teriakan lantang, Mbok Ami menyuruh menantunya itu untuk mengambil tabung elpiji beserta kompornya ke rumah Pak RT. Maklum, baru dua hari ini kampung Mbok Ami dilewati program konversi dari mitan ke elpiji. Dengan membawa KK (Kartu Kelurga) Tarkicuk langsung berangkat ke rumah Pak RT yang berjarak sekitar 1 Kilometer. Pelantikan menteri di layar televisi ia tinggalkan.

Tak berselang lama, Tarkicuk sudah kembali dengan membawa tabung elpiji ukuran 3 Kg beserta kompornya. Selanjutnya, seluruh peralatan masak itu ia serahkan kepada mertuanya. Sambil memandangi tabung elpiji, hati kecil Tarkicuk kembali berkata,"Dulu Mitan Sekarang Elpiji, Dulu Demonstran Sekarang Menteri,”.

Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Layar televisi perlahan padam, Mbok Ami kembali ke warung, Tarkicuk duduk termenung. Tidak ada Tanya, tidak ada jawab. [Yusuf 2Mao]

Senin, 08 Maret 2010

Rumah di Ujung Gang Itu


Rumah mentereng di ujung gang itu masih tegak berdiri. Halamannya tidak begitu luas, tapi masih cukup untuk menampung puluhan bunga dalam pot. Semuanya berubah.

Mataku terus mengamati rumah itu. Memang banyak yang berubah dibanding sembilan tahun lalu. Dulu,meski bangunanya sederhana, tapi rumah itu kaya makna. Saban hari, nafas perjuangan selalu mendesah dari rumah yang tak pernah ada kuncinya itu.

Perlahan daun pintu rumah ujung gang itu berderit. Tak berselang lama, pemilik rumah itu keluar. Mataku melirik ke arah ruang tamu. Sekali lagi, semuanya berubah.

Masih jelas dalam ingatanku. Dahulu, dalam rumah itu ada gambar bintang merah. Ada juga gambar tokoh fenomenal Tan Malaka dengan ukuran besar. Tidak ketinggalan, sebuah lukisan Che Guevara yang sedang menimati rokok cerutu. Lukisan berlatar hitam putih itu pemberian dari seorang kawan. Selebihnya, aku tidak ingat lagi apa aksesoris yang menempel di ruang tamu. Ah, itu dulu.

Di bawahnya, sebuah karpet merah yang lusuh karena bercampur debu selalu menghampar. Diatas karpet itulah, jika siang hari kami berdiskusi dan jika malam hari kami dibuai mimpi.

Oh ya, ada satu lagi benda berharga dirumah itu. Sebuah celengan berbentuk kubus. Dulu kawan-kawan menyebut celengan terbuat dari kayu itu sebagai penyimpan dana revolusi. Walaupun akhirnya celengan itu dibongkar sebelum penuh isinya.

Pintu rumah mentereng itu kembali berderit. Seseorang masuk dan menguncinya. Anganku buyar lamunanku ambyar. Sejenak kemudian aku sadari bahwa semuanya telah berubah. Tidak ada lagi bintang merah di rumah itu. Mungkin bintang itu sudah berpindah dan melekat dihati mantan penghuninya. Semoga...

Dianggap Bertuah, Air Kotor Jadi Rebutan


Dipercaya Bertuah, Air Bekas Pohon Jadi Rebutan

Jombang (beritajatim.com) – Sebuah sumber air bekas pohon tumbang yang ada di Desa Betek Kecamatan Mojoagung, Jombang ramai dikunjungi warga. Air yang yang muncul dari kubangan bekas pohon itu dipercaya bertuah. Warga percaya, dengan meminum air tersebut bisa menyembuhkan penyakit.

Watini, salah satu warga mengatakan, air ‘sakti’ itu muncul dari dasar pohon yang berusia ratusan tahun di area pemakaman Desa Betek. Pohon Iprik dengan diameter 5 meter itu tumbang setelah diterjang puting beliung. Namun sehari kemudian pada kubangan bekas pohon itu muncul sumber air dari bagian bawah ambrolnya akar.

“Jika meminum air itu maka segala penyakit bisa sembuh. Awalnya, saya terkena penyakit linu, tapi setelah meminum penyakit itu penyakit saya langsung sembuh,” kata Watini saat ditemui dilokasi, Kamis (4/3/2010).

Hal senada juga dikatakan Purwanto, warga lainnya. Menurut bapak tiga orang anak ini, pohon iprik tersebut sudah berusia ratusan tahun. Mneurut cerita para petua, pohon tersebut ada sekitar tahun 1800. Saat tumbang, selain memunculkan sumber air, juga terdapat batu bata kuno. “Meski airnya kotor tap[I berkhasiat,” jelas Purwanto.

Pantauan beritajatim.com dilapangan, sejak dua hari lalu ratusan warga mulai menyerbu dan berebut air ‘bertuah’ itu. D engan menggunakan peralatan seadanya, seperti gelas dan botol air mineral, warga mengambil air itu. Bahkan ada yang langsung meminumnya walaupun air dari dasar pohon itu berwarna keruh.

“Meski airnya berwarna keruh namun baunya wangi. Semoga dengan meminum air ini penyakit rheumatic saya bisa sembuh,” tegas Ahmad Zamroni, pengunjung lainnya. [suf]