Senin, 18 Oktober 2010

;;Kisah Baha’i Tetangga Saya;;

Ada yang mengejutkan akhir-akhir ini. Sebuah agama ‘baru’ muncul di Tulungagung. Lebih dari 100 orang warga Tulungagung kesengsem dengan agama yang bernama Baha’i itu. Seperti yang sudah-sudah, pro-kontra langsung bermunculan. Kata-kata sesat kembali mengemuka. Aku sendiri tidak begitu tertarik dengan semua itu. Aku hanya berpikir, warga Baha’i lebih gentle dibanding sejumlah aliran yang di beri embel-embel sesat sebelumnya.

Betapa tidak, ajaran yang muncul dari Iran pada abad 19 ini berani memproklamirkan diri sebagai agama. Tidak seperti aliran yang pernah ada sebelumnya. Meski ajaran beda, namun mereka tetap menempel pada agama terbesar di Indonesia, yakni Islam. Ya, semisal aliran Ahamdiyah. Sebuah aliran yang beberapa waktu lalu juga menyita perhatian publik. Memang susah hidup di jaman seperti ini, memeluk agama salah, tak beragama bertambah salah.

Saya sendiri tidak tahu banyak tentang Baha’i. Dan kebetulan, saya memang tidak kesengsem untuk mencarinya. Ketika perdebatan soal agama yang berkiblat pada gunung Caramel di Israel itu mengemuka, saya justru ingat seorang tetangga yang bernama Baha’i. Orangnya sederhana, warga di kampung biasa memanggilnya Kang Bahak.

Kang Bahak sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Namun warga desa tetap terkenang dengan sosok yang jujur dan polos ini. Aku tidak akan menceritakan bagaimana Kang Bahak meninggal. Tapi aku lebih senang menceritakan saat Kang Bahak masih hidup. Saat dia sering datang ke surau dekat rumahku. Mengisi kamar mandi untuk wudhu, memukul kentongan sebagai pertanda waktu shalat, mengumandangkan adzan, serta menyalakan lampu petromak untuk penerangan bocah mengaji. Dia tidak pernah berkeluh kesah, apa yang dilakukannya selalu ikhlas.

Aku masih ingat. Sore itu, senja mulai merayap. Dengan sarung sedikit mlorot, Kang Bahak duduk di surau samping rumahku. Ia menunggu datangnya magrib. Tak lama berselang, Mbah Jaet datang menghampiri. Kakekku yang menjadi imam di surau itu sangat hafal, jika Kang Bahak datang sebelum magrib berarti lagi di dera masalah.

Dugaan itu tidak meleset. Begitu ia dekat Kang Bahak, Mbah Jaet langsung dihujani grundelan. Kang Bahak menceritakan bahwa baru saja belajar mengaji di rumah wak kaji kampung sebelah. Namun bukan ilmu yang ia dapat, pria yang ingin belajar agama ini justru mendapatkan dosa. Mbah Jaet, mengernyitkan kening. Tak paham apa yang dikatakan tetangganya itu.

Kata Kang Bahak, ia disuruh menghafal surat Al-Fatihah oleh wak kaji. Namun hingga diulang puluhan kali, lafal yang diucapkannya tak pernah benar. Permasalahannya sederhana. Kang Bahak tak bisa mengucapkan huruf ‘ain. Giliran huruf ‘ain, ia selalu melafalkannya dengan ‘ngain. Maklum, lidah Kang Bahak produksi Jawa tulen. Melihat muridnya yang sulit di ajari, wak kaji hilang kesabaran. Kang Bahak di briefing secara khusus. Acara belajar mengaji di pending sementara waktu. Wak kaji mengingatkan bahwasannya mengucapkan lafal dalam Al-Quran tidak boleh keliru. Harus sesuai dengan mahraj dan tajwid.

Alasannya, salah mengucapkan bisa berdampak pada salah pengartian. Jika sudah demikian, maka bisa mengakibatkan dosa. Mendapat teguran itu, Kang Bahak langsung merinding. Ia buru-buru menggulung sarung, balik kanan, kemudian pulang. Sampai-sampai Kang Bahak lupa untuk sekedar mengucap salam. Sepanjang perjalanan hati kecilnya protes, kok bisa? Ingin berbuat baik kok malah mendapatkan dosa.

Mbah Jaet yang mendengar cerita itu hanya manggut-manggut. Suasana hening sejenak. Kemudian, dengan suara berat Mbah Jaet angkat bicara. Ia menenangkan kegundahan tetangganya itu. Menurutnya, Gusti Allah tidak membedakan bahasa. Baik itu orang Arab maupun orang Jawa, jika niatnya tulus ikhlas, Insya Allah di ridhoi-Nya. Pendek kata, Mbah Jaet memberi penjelasan kepada Kang Bahak bahwasannya tidak ada diskriminasi bahasa di mata Gusti Allah. “Gusti Allah pasti tahu niat ikhlas sampen Kang,” kata Mbah Jaet menasehati.

Obrolan dua orang itu mendadak terputus ketika kentongan magrib berbunyi. Kang Bahak langsung beranjak. Ia mengambil air wudhu yang ada disebelah surau. Sejurus kemudian sudah terdengar suara adzan dari surau yang sudah rapuh itu. Ya, kumandang suara adzan dengan lafal arab tapi berlogat Jawa. Ternyata kegundahan Kang Bahak sudah terobati.

Semenjak sore itu, tetangga saya yang jujur dan polos ini semakin sering ke surau. Setiap sore, saat senja mulai merayap, Kang Bahak sudah berada di samping rumahku. Mengisi air wudhu, menyalakan lampu petromak, memukul kentongan, serta mengumandangkan suara adzan. Sekali lagi, semuanya ikhlas, tanpa harus merubah ‘ngain menjadi ‘ain. Selamat jalan Kang….!! Semoga sampean tidak pernah tahu bahwa namamu saat ini menjadi nama agama yang diperdebatkan. [yusuf wibisono]

Jombang,28 Oktober 2009

Tidak ada komentar: