Minggu, 04 September 2011

Selamat Jalan Kawan Feraz..


Aku mengenalmu dilereng Gunung Merapi. Ketika gunung itu sedang menyemburkan guratan merah. Sekitar sepekan, kita menyusuri punggung Merapi. Kita sama-sama berharap akan lahir kader pergerakan yang progresif. Meski peristiwa itu 10 tahun yang lalu atau tahun 2001, namun teriakanmu ditengah hutan itu masih bergema.

Ironis, gema itu tiba-tiba redup pada 8 Juni 2011 selepas Magrib. Semua itu berawal dari dua SMS yang mampir di ponselku. SMS yang dikirim oleh dua kawan tersebut bahasanya berbeda tapi intinya sama. Sebuah kabar kematian. Abdul Rakhman Feras, meninggal dunia di RS Pertamina Jakarta. Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un.

Awalnya aku tak percaya kabar itu. Namun setelah aku mengintip sebuah dinding FB, aku lihat ucapan duka membanjir di dinding itu. Ya, aku yakin Tuhan telah memanggilmu. Karena gagal jantung, nasibmu kurang beruntung.

Mengingat kematian hanya membuat gurat-gurat kesedihan. Untuk itu, aku tak ingin berbicara tentang detik kematianmu. Aku lebih suka bercerita ketika kamu hidup, ketika kita membangun dinamika di lereng Merapi. Maklum, sepekan di lereng Merapi, mantra pergerakan selalu engkau wiridkan.

Sepuluh tahun yang lalu, aku lupa bulan apa. Saat itu hari mulai merayap petang ketika rombongan dari gang Rode Yogyakarta menginjakkan kaki di rumah juru kunci Gunung Merapi, almarhum Mbah Marijan. Malam itu pula, kita melahap materi-materi bernafas kiri.

Esoknya, punggung Merapi kita susuri. Engkau berjalan paling depan. Kepalamu dililit bandana, tubuhmu terbalut raincoat. Sepanjang perjalanan, suaramu lantang menebar semangat 'Tak Kan Mundur Walau Terbentur - Tak Kan Mengeluh Walau Terjatuh.

Namun sekali lagi, semua itu berubah pada Rabu petang kemarin. Ketika dua SMS parkir di ponselku. Isinya, tentang kabar kematianmu. Aku tak bisa membayangkan tubuh kekarmu terbalut kafan putih. Selamat jalan kawan Feras. Ternyata sekat antara hidup dan mati tak setebal kain kafan. [yusuf wibisono]

Tidak ada komentar: