Minggu, 04 September 2011

Puasa dan Tragedi Colo-colo


Ini sebuah kisah bulan puasa yang dialami para penghuni kontrakan, kejadiannya lumayan lama, sekitar delapan tahun lalu. Karena menu colo-colo, semua penghuni kontrakan di ujung gang itu gagal manjalankan puasa. Bagi orang Jawa, colo-colo adalah menu yang sangat asing. Tapi bagi saudara kita yang ada di tanah Ambon tidak demikian.

Pagi masih buta. Serombongan anak muda dengan membawa bedug, kentongan, dan alat musik pukul lainnya baru saja melintas di depan kontrakan. Semakian jauh, suara riuh alat-alat musik itu semakin hilang. Aku melirik jam dinding. Ya, jarum jam belum bergeser dari angka 3 dini hari. Sebenarnya, meski tidak ada serombongan kelompok spesialis pembangun orang sahur itu, kami masih terjaga. Maklum saja, bagi penghuni rumah kontrakan, melekan sudah menjadi tradisi.

Mumpung jarum jam belum menabrak waktu imsak, kami hendak memasak. Meski menunya tidak jauh dari sambal terasi, ceplok telur, atau paling mewah mie instan. Sebagai menu penutup, sudah tentu kopi kental dan rokok kretek. Namun, belum sempat kaki melangkah ke dapur, teman saya bernama Habib langsung mencegah. Kawan saya yang berasal dari Pulau Seram, Ambon ini berjanji hendak memasak menu spesial. Ya, menu kuliner dari tanah Ambon Manise.

Anehnya, meski berjanji hendak memasak, namun kawan saya yang berambut keriting ini justru asyik duduk-duduk. Sesekali ia menyeruput kopi di depannya serta mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Padahal, penghuni kontrkan yang jumlahnya diatas enam orang itu sudah tidak sabar. Mereka ingin segera mencicipi kuliner yang katanya berbahan dasar sagu itu. Hingga 20 menit menjelang injurytime alias imsak, Habib masih bergeming. Kami semakin penasaran.

Nah, tepat 10 menit menjelang imsak, Habib baru menunjukkan kebolehannya. Ia beranjak ke dapur untuk memasak. Kami semakin penasaran, karena yang dimasak oleh kawan saya ini hanyalah air keran yang banyaknya tak kurang dari dua gelas. Sejurus kemudian, air itu mendidih. Habib yang dialek Ambonnya masih kental ini buru-buru menuangkan air panas itu ke dalam gelas. Berhasil.

Air panas dalam gelas itu kemudian dibawa ke ruangan dimana kami berkumpul. Dengan senyum terpulas, Habib mengeluarkan beberapa batangan sagu dari tas miliknya. "Masakan sudah siap untuk disantap. Ini menu makan sahur yang istimewa," katanya bangga.

Kami semakin bingung. Karena yang kami bayangkan adalah Habib sedang membuat bubur sagu. Namun kenyataannya, hanyalah segelas air panas dan beberapa batang sagu yang panjangnya seukuran jari. Habib sepertinya mengerti kebingunan kami. Belum sempat protes mengalir, ia langsung mempraktikkan cara menyantap menu 'aneh' itu.

Sagu sebesar stabilo itu ia celupkan ke air panas. Tak sampai lima menit, sagu tersebut ditarik kemudian dimakan olehnya. "Nah, ya ini namanya colo-colo. Ini masakan khas Ambon," kata Habib sambil mulutnya terus mengunyah.

Seluruh penghuni kontrkan langsung 'lemes' begitu tahu kuliner yang disajikan oleh Habib super-super sederhana. Bahkan tidak jarang ada yang gerundel kecewa. Nafsu makan langsung hilang. Lantas bagaimana dengan Habib? Wah, kawan saya ini malah sebaliknya. Sembari makan, ia menerangkan kehebatan colo-colo.

Menurut Habib, sebagai penyanding makanan itu, biasanya ditambah dengan jeruk nipis dan ikan laut yang kering tanpa dimasak. Konon, kata kawanku ini, rasanya lezat. Yang lebih membuat giris, katanya, saat terjadi konflik Ambon, makanan spesial itulah yang selalu menjadi santapan. "Saat kami di hutan, makanannya ya colo-colo. Nikmat banget," urainya tanpa beban.

Jarum jam dinding terus berdetak, tak terasa jarum itu sudah menabrak waktu imsak. Kami hanya bisa tertawa kecut sembari berkata hampir bersamaan, "Memangnya kita ini mau perang Bib, kita ini mau makan sahur untuk modal puasa,".

Tidak ada komentar: