Sabtu, 19 Maret 2011

Koalisi, Isi Kuali, atau.....

Hingar bingar kata koalisi kembali terdengar di kalangan elit. Akibat kata-kata itu, ada yang terdepak ada yang retak. Karena kata-kata itu pula, ada yang merapat ada yang tercekat. Apalagi, media terus menggelindingkannya. Tentu saja, bola koalisi semakin panas.

Itu yang diatas sana. Lantas bagaimana yang dibawah? Tidak kalah panasnya. Namun yang pasti bukan karena mantra koalisi. Panasnya kondisi dibawah lebih dipicu oleh persoalan isi kuali (baca: pangan). Ya, petani sedang lesu. Kebijakan impor beras dengan bea masuk 0 persen sebagai pemicu.

Dampaknya lumayan dahsyat. Gara-gara kebijakan itu, harga gabah kering terjun bebas dari Rp 3.400 menjadi Rp 2.600. Padahal, saat ini petani sedang panen raya. Jika sudah demikian, maka isi kuali pak tani bisa terancam. Belum lagi dengan adanya 'salah mangsa'. Lengkap sudah penderitaan pak tani.

Sungguh ironis. Para elit politik justru sibuk bertarung membangun blok koalisi. Blok mana layak dipukul dan kubu mana yang sudah waktunya dirangkul.

Memang, dalam wilayah politik, koalisi adalah sebuah kelaziman. Koalisi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan atau kabinet dari partai yang memiliki suara di parlemen. Hanya saja, jika kita bercermin secara utuh, sejarah koalisi di negeri ini adalah koalisi yang sakit.

Mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi.

Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi.

Terakhir, minimal range coalition dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet.

Kuskridho Ambardi, dalam bukunya yang berjudul 'Mengungkap Politik Kartel (2009)' menjelaskan, pola-pola koalisi yang dibangun di parlemen dan pemerintahan kurang sesuai dengan teori-teori koalisi pada umumnya. Nah, hal itulah yang akhirnya melahirkan politik kartel. Sistem ini digunakan untuk meminimalkan kerugian pihak yang kalah, entah dalam pemilu atau dalam koalisi.

Kartel lebih mengutamakan mekanisme perangkulan (incorporation) dari elite yang memiliki latar belakang ideologi yang berbeda. Dalam politik kartel, dorongan berpartisipasi dalam kabinet dan struktur kepemimpinan di komisi, misalnya, adalah karena kepentingan partai-partai untuk mengamankan kebutuhan finansial bersama.

Tidak salah jika apa yang terjadi saat ini mencerminkan sebuah kepentingan pragmatis yang jauh dari unsur ideologis. Partai oposisi versus partai pemerintah yang sebelumnya begitu sengit berkompetisi di satu hal akan dengan mudah menjadi kooperatif dalam hal lain. Begitu juga sebaiknya.

Intinya, mereka terlibat di pemerintah atau parlemen bukan demi perjuangan program atau ideologi partai, melainkan patut diduga demi mengamankan sumber-sumber finansial.

Menurut buku hasil disertasi ilmu politik dari The Ohio State University ini, gejala kartelisasi parpol telah muncul usai pemilu 1999. Persaingan (terutama isu agama) yang begitu sengit selama masa kampanye mendadak terhenti ketika pemilu berakhir. Kondisi itu semakin nyata dalam pembentukan dua kabinet (periode 1999-2004) yang tak selaras dengan teori koalisi berbasis ideologi maupun koalisi kemenangan-minimal.

Kabinet Persatuan Nasional semasa KH Abdurahman Wahid dan Kabinet Gotong Royong di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri bukan berdasarkan kesamaan ideologi. Karena semua partai bergabung dalam kabinet, maka teori kemenangan-minimal juga gagal menjelaskan tindak-tanduk partai dalam berkoalisi.

Pola interaksi antarpartai pada Pemilu 2004 setali tiga uang. Isu keagamaan tetap jadi isu dominan pada masa kampanye. Namun, persaingan antar partai tetap berakhir dengan cara serupa. Begitu partai-partai meninggalkan gelanggang pemilu, ideologi pun dibuang. Indikasi itu terlihat dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dibawah SBY-JK. Kabinet tersebut bukan jenis koalisi berbasis ideologi. Mengapa? karena formasi kabinet merupakan campuran antara partai sekuler dan partai Islam.

Teori koalisi kemenangan-minimal juga gagal menjelaskan koalisi di parlemen. Pasca kekalahan Megawati-Hasyim pada pilpres putaran kedua, sebagian besar partai eks-Koalisi Kebangsaan (kecuali PDIP) bergabung dengan pemerintah. Meski PDIP berada di luar pemerintahan, buku ini mencatat, partai berlambang banteng gemuk ini gagal menjadi oposisi. Pasalnya, PDIP bergabung dengan partai-partai lain untuk membentuk kembali kartel demi mendapatkan jatah posisi pimpinan di tingkat komisi di DPR.

Bagaimana dengan koalisi saat ini? Sepertinya tak jauh beda. Karena idealnya, kompetisi antar parpol itu konsisten di berbagai arena politik (pemilu, pemerintahan dan parlemen). Bila suasana kompetisi konsisten di berbagai arena politik akan terdapat tautan elektoral di antara partai-partai sebelum pemilu dan pasca pemilu. Dengan demikian, kaitan antara ideologi, pola koalisi, proses kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi jadi lebih bermakna. Tapi, hal itu sepertinya belum terasa.

Jika sudah demikian, maka bersiap-siaplah kita melihat tontonan menarik, yakni se-ekor keledai yang duduk diatas kursi roda dengan sejumlah balutan perban ditubuhnya. Dengan kata lain, keledai ini jatuh lebih dari dua kali di lubang yang sama. Sangat-sangat bodoh, bukan? [yusuf wibisono]


Rubrik Sorotan beritajatim.com - 8 Maret 2011

Tidak ada komentar: