Minggu, 04 September 2011

Hidup Sundari Semanis Air Tebu


Es tebu menjadi primadona baru di kota Jombang sejak enam bulan terakhir ini. Para penjual yang menjamur di sejumlah jalan potokol berlomba meraup keuntungan dari manisnya minuman tersebut. Tak terkecuali Sundari (26).

Siang itu terik mentari cukup menyengat di kawasan Jalan Hayam Wuruk Jombang. Di pinggir trotoar, Sundari sibuk menata batangan tebu yang panjangnya sekitar 1 meter. Setelah memegang sebatang tebu, ia bangkit dari kursi plastik menuju mesin pemeras yang letaknya tidak begitu jauh.

Tali warna putih yang terjuntai di poros mesin diesel berukuran kecil ia tarik kencang. Seiring dengan itu, mesin yang digunakan menggerakkan pemeras tebu tersebut menderu. Batangan tebu yang sudah dibersihkan itu kemudian ia masukan ke mesin yang berputar.

Tidak kurang dari lima menit, tebu batangan langsung pipih dan berubah menjadi ampas. Sedangkan air sari tebu menetes melalui selang yang terdapat di mesin giling. Air berwarna kehijauan tersebut tertampung di teko plastik setinggi 30 sentimeter yang ia letakkan di bawah mesin pemeras.

Proses itu berulang kali dilakukan sampai batang tebu tak lagi mengeluarkan sari manisnya. Selanjutnya, air sari tebu tersebut dimasukkan kedalam kotak kaca berukuran 30X60 sentimeter yang sudah disiapkan di atas meja dagangan.

"Dengan ditambahi batu es, selain manis, air sari tebu ini juga segar. Apalagi jika dinikmati saat cuaca panas seperti sekarang. Manis dan segarnya dijamin asli," kata Sundari setengah berpromosi sambil memasukkan segenggam batu es kedalam gelas yang akan disuguhkan kepada pembeli.

Begitulah keseharian Sundari sebagai penjaja es tebu. Untuk menghindari hujan dan panas, wanita berambut seleher ini memasang payung berukuran lebar didekat gerobaknya. Pembeli yang datang pun bermacam-macam. Mulai pejalan kaki, pengendara motor, hingga membawa mobil. Maklum saja, satu gelas es tebu, Sundari hanya mematok harga Rp 1.000.

Seiring dengan menetesnya air tebu di mesin pemeras, Nasib ibu satu anak ini pun berubah. Dalam sehari ia mampu meraup keuntungan antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Bahkan jika pembeli cukup ramai jumlah itu bisa bertambah. Kondisi itu berbeda dengan sebelumnya, yakni ketika Sundari hanya menjadi ibu rumah tangga. Ia hanya sibuk mengurus anak dan suaminya. Tak ada penghasilan. "Saya baru tiga bulan berjualan es tebu," katanya berkisah, Jumat (3/12/2010).

Meski gerobak untuk berjulan es tebu terkesan sederhana, namun modal yang dikeluarkan untuk memulai bisnis manis itu tidak sedikit. Sundari menjelaskan, untuk membeli alat pemeras lengkap dengan diesel kecil, ia harus merogoh kocek sebesar Rp 3 juta. Belum lagi untuk membeli peralatan lainnya seperti gelas, gerobak dorong, serta meja-kursi dari plastik. "Kalau ditotal ya sekitar Rp 5 juta," ungkapnya merinci.

Sembari mengusap keringatnya, Sundari bercerita, jika cuaca panas, ia mampu menghabiskan 1 kwintal tebu per hari. Namun jika cuaca kurang bersahabat alias hujan, ia hanya mampu menjual setengahnya saja, yakni 0,5 kwintal. Ia lalu menjelaskan bahwa setiap kwintal tebu batangan harganya Rp 78 ribu.

Yang mencari bahan baku, kata Sundari, adalah suaminya sendiri. Jika di Jombang sulit mendapatkan tebu, maka suaminya akan mengambil tebu dari daerah Tulungagung. "Satu kwintal tebu yang sudah diperas, kemudian dijual dalam bentuk es tebu akan menghasilkan uang sekitar Rp 200 ribu. Lumayan hasilnya," kata Sundari dengan senyum terpulas.

Hari masih siang. Cuaca yang seharusnya panas perlahan berubah. Hal itu menyusul datangnya awan yang menutupi langit. Pembeli es tebu di gerobak Sundari mulai sepi. Meski demikian, ibu satu anak ini kembali menyalakan mesin pemeras. Air sari tebu kembali tertampung memenuhi teko. [suf]

Perlahan-lahan Sundari menuangkan air tersebut ke dalam gelas yang ia bawa. Sejurus kemudian, ia meneguk es tebu buatannya sendiri itu. Rasanya manis, semanis perubahan hidupnya

Tidak ada komentar: