Minggu, 04 September 2011

Rokib, Abang Becak yang Enggan Berkeringat


TEKNOLOGI telah memanjakan hidup manusia, tak terkecuali Rokib, seorang abang becak yang biasa mangkal di sudut kota Kertosono. Dengan memasang mesin di becaknya, Rokib tak perlu berpeluh ketika mengantarkan pelanggannya. Ia tak perlu lagi mengeluarkan keringat ekstra ketika mengais rejeki. Mesin motor dibunyikan, kendaraan roda tiga tersebut langsung melaju. Bibir Rokib pun terpulas senyum.

Saya bertemu Rokib saat menunaikan salat Idul Fitri 1432 H di masjid dusun. Dengan kopyah bertengger di kepala, Rokib menepuk pundak saya. Kami pun berjabat tangan. Maklum saja, Rokib merupakan kawan satu kelas saya ketika masih duduk di bangku SD (Sekolah Dasar). Hanya saja, karena kondisi ekonomi yang kurang beruntung, selepas SD dia memilih menjadi abang becak. Berawal dari becak setoran, kini dia sudah punya becak sendiri, bermesin lagi.

Bertemu dengan Rokib dalam salat Idul Fitri pagi itu membuat saya teringat waktu kami duduk di bangku SD. Lagi-lagi, Rokib merupakan bocah yang kurang beruntung. Dia pernah tinggal kelas, karena kemampuan akademiknya yang pasa-pasan. Bahkan, saya masih ingat, hingga kelas tiga, dia belum bisa membaca dan menulis.

Nah, ini yang membuat saya terpingkal-pingkal kalau teringat Rokib. Bagaimana tidak? Waktu itu saya melihat buku tulis yang tergeletak di bangku belajarnya. Layaknya buku pelajaran, Rokib juga menuliskan identitas diri di lembar paling depan. Hanya saja, tulisan tersebut salah kaprah. Ya, pada bagian 'Nama' tertulis Matematika, sedangkan pada bagian 'Bidang Study' justru tertulis Rokib. Sekali lagi, itu semua karena hingga kelas tiga kawan saya ini belum bisa membaca.

Kembali ke becak kayuh milik Rokib yang sudah berubah wajah menjadi betor (becak motor). Padahal, tiga tahun lalu saat saya bertemu di sudut kota Kertosono, Rokib masih setia dengan becak kayuhnya. Setiap mengantar pelanggannya, peluh selalu bercucuran dari dahinya. Namun itu semua sudah berubah. Kini Rokib tak harus repot-repot mengeluarkan keringat lagi.

Pagi itu, Rokib bercerita, untuk merubah becaknya bukan hal yang mudah. Karena ia harus merogoh kocek sebesar Rp 2,6 juta. Mulai beli besi, mesin diesel, hingga memberikan ongkos buat tukang las. Pun demikian, Rokib tak pernah memasang tarif meski kendaraannya sudah berubah wajah. "Walaupun betor, kalau tarif ya tergantung penumpang," katanya Rokib polos.

Gema takbir menyambut Idul Fitri masih berkumandang, saya dan Rokib masih terlibat obrolan ringan. Usai salat, gantian Rokib menjadi penumpang diatas motor saya. Maklum, Rokib berangkat ke masjid dengan jalan kaki. Tepat di depan rumahnya, dia turun. Kami kembali berjabat tangan sebagai simbol berlebaran. Tak lupa, saya selipkan lembaran rupiah meski jumlahnya tidak terlalu banyak. Selamat Idul Fitri 'Bidang Study Rokib', Selamat Idul Fitri juga untuk Rokib-Rokib lainnya. [yusuf wibisono]

Tidak ada komentar: