Minggu, 04 September 2011

Menembus Lorong Waktu di Surau Tua


KESUNYIAN di sebuah surau tua tiba-tiba pecah ketika sekelompok anak muda tertawa berderai-derai. Sekelompok anak yang terlibat reuni kecil itu mengingat masa lalu mereka. Ya, ketika mereka hidup di sebuah dusun. Layaknya bocah dusun, ketika malam tidur di surau, bermain gitar, mencuri mangga tetangga, atau malakukan aksi kriminal kecil lainnya.

Nah, memori-memori itu kembali hidup ketika mereka berkumpul, tentunya setelah bocah-bocah dusun itu beberapa tahun hidup di rantau. Sekali lagi, membuka memori puluhan tahun itu seolah menerobos dalam sebuah lorong waktu. Lucu, ngeri, bahkan penuh kegilaan. Lewat momen lebaran, anak-anak dusun itu menembusnya.

Surau tua itu berada tepat di depan rumahku. Dengan kata lain, tempat itulah dahulu sebagai sentra berkumpulnya anak-anak desa. Selepas magrib, mereka belajar mengaji dengan metode konvensional. Malam harinya, mereka tidur bersama-sama. Esoknya, ketika pagi masih buta, bocah-bocah itu kembali ke rumah masing-masing untuk berangkat ke sekolah.

Pada hari-hari tertentu, semisal malam minggu, aksi mereka lebih kreatif. Kadang begadang sampai pagi sembari bermain gitar di ujung desa. Atau ketika tengah malam, ada yang beraksi masuk ke kebun tetangga untuk 'mencuri' mangga, kelapa, jagung, dan banyak tanaman lainnya.

Malam itu, di depan surau tua, kenangan-kenangan itu kembali mengemuka. Seolah kami kembali ke masa yang sudah lama terlewati. Ada kisah Si Klewer yang gara-gara mengkonsumsi bunga kecubung dicampur dengan kopi, akhirnya semalam ngoceh tak karuan. Bahkan, ia nekat mandi saat tengah malam karena mabuk.

Atau kisah kawan saya Jiman, ketika musim layang-layang, dia menggunakan ide yang super kratif. Jiman menggunakan benang layangan yang terbuat dari kawat kecil berbahan tembaga. Di tengah benang itu, terlilit sebuah senjata tajam berupa silet. Harapannya, Jiman selalu menang ketika layang-layangnya beradu benang atau sambitan di udara.

Hanya saja, ide nakal Jiman itu tidak berjalan mulus, justru sebaliknya berbuah petaka. Bagaimana tidak, benang tembaga tersebut mampir di atas kabel listrik bertegangan tinggi. Pertemuan dua benda itu memercikkan bunga api. Akibatnya, listrik satu desa padam dalam semalam. Beruntung, Jiman sebagai joki layangan tidak sampai kena setrum.

Selain itu, ada juga kenangan yang berjalan secara kolektif. Yakni ketika kami bergaya ala pecinta alam dengan melakukan camping ke Pantai Pelang Trenggalek. Dengan bermodal gitar tua, tas carier ukuran besar, kami berangkat ke pantai yang elok itu. Tentunya, mengamen dari bus ke bus untuk bisa sampai ke tempat tujuan. Tenda dibentangkan, kompor darurat dinyalakan. Hingga satu minggu kami menginap di tempat yang ada air terjun, serta bumi perkemahan itu.

Untuk menambah logistik, kadang kami mengamen ke kampung yang ada di dekat pantai. Sambutan warga setempat cukup hangat. Selain diberi uang, kami juga diajak makan di rumah warga. Namun lagi-lagi, segudang keisengan muncul saat plesir di tempat itu. Mencuri tanaman warga, bahkan kawan saya bernama Plentis nekat menantang penguasa laut selatan. Saya sendiri waktu itu, hampir saja tergulung ombak ketika mencoba menyeberang ke sebuah pulau kecil yang bentuknya mirip kapal.

Malam bertambah larut, cerita masa lalu di depan surau tua itu semakin membuat kami terpingkal-pingkal. Setidaknya, kenangan masa lalu itu bisa sebagai terapi sosial anak-anak desa yang sedang pulang kampung guna merayakan lebaran tersebut. Di depan surau tua itulah kami bisa memaknai mudik yang sebenarnya. Mudik bukan sekedar pamer keberhasilan dengan cara menenteng alat komunikasi super pintar.

Dengan mudik, orang-orang yang mudah kehilangan dirinya dalam hiruk-pikuk kota ingin menemukan kembali masa lalunya di kampung. Mereka yang hanya dihitung sebagi angka dan skrup kecil dalam mesin raksasa kota, ingin kembali diperlakukan sebagai manusia. Ya, kami ingin meninggalkan, walau sejenak, wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati kembali wajah-wajah kampung yang ramah.

Oleh karenanya, mudik bukan sekedar perjalanan mengarungi darat, laut ,dan angkasa, atau bersimbah keringat dalam kendaraan. Peristiwa itu merupakan perjalanan yang melintas waktu. Mereka telah membawa masa kini kemasa lalu, supaya memperoleh kekuatan buat menempuh masa depan. Sekali lagi, Mudik bukan semata-mata hiburan. Tetapi terapi massal yang bisa memanusiakan manusia. Tidak membuat kita menjadi manusia robot di tengah belantara kota. Semoga. [yusuf wibisono]

Tidak ada komentar: