Rabu, 02 Januari 2008

Konvensi Internal Parpol; Masihkah Kita Bisa Berharap?

Oleh : Yusuf Wibisono*

Membaca beberapa buah pikiran Sdr. Ikhsan Effendi yang muncul di Radar Mojokerto, Surabaya Pagi maupun Radar Minggu, membuat saya terinspirasi untuk memberikan
sedikit komentar. Secara umum, inti dari tulisan-tulisan tersebut adalah concern dari Cak
Ikhsan untuk terus memperjuangkan terwujudnya demokrasi. Menurutnya, demokrasi harus dimulai dengan pelibatan secara penuh seluruh masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik tentunya melaluiberbagai mekanisme yang disepakati. Demokrasi harusdibangun dan diperjuangkan oleh segenap elemen bangsa, utamanya dimulai dari pembenahan partai politik. Membenahi parpol berarti membersihkan parpol dari berbagai praktik KKN, menyehatkan sistem internal parpol melalui kaderisasi, pendidikan politik serta constituent control system.

Lebih tertarik lagi, mengenai ide yang dimunculkannya tentang pentingnya parpol di Jombang untuk segera melakukan persiapan sedini mungkin dalam menghadapi pilkada. Utamanya dengan melakukan perbaikan system rekrutmen calon kepala daerah apakah melalui konvensi, pemilu internal atau sejenisnya. Akan tetapi pertanyaannya adalah mungkinkah mekanisme rekrutmen seperti itu akan dilakukan oleh parpol? Atau apakah
para petinggi parpol mau untuk melaksanakan system konvensi yang diusulkan tersebut?

Saya sepakat dengan pendapat Cak Ikhsan bahwa model rekrutmen yang seperti itu akan dapat meminimalisir deviasi (kesenjangan) antara suara parpol dengan suara rakyat yang pada akhirnya dapat mencegah munculnya problem kekecewaan konstituen maupun apatisme public atas pilkada. Akan tetapi saya melihat ide cemerlang tersebut ada banyak ketidakberdayaan untuk mewujudkannya.

Secara teoritis, Pilkada langsung adalah suatu mekanisme pengalihan hak dan kewenangan politik dari DPRD sebagai lembaga ke rakyat yang akan memilih
secara langsung calon-calon kepala daerah yang akan memimpin daerahnya. Namun, UU masih memberi kesempatan besar kepada partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak, partai menetapkan calonnya masing-masing kemudian rakyat menentukan pilihannya (mencoblos) kepada calon yang sudah ditetapkan oleh
partai.

Disinilah kemungkinan deviasi tersebut terjadi. Rakyat dalam arti sesungguhnya dan DPRD dalam arti lembaga tidak diberi ruang dalam menentukan kandidat. Sedangkan setiap partai politik melakukan penjaringan calon dengan caranya masing-masing. Dalam prakteknya, penjaringan yang dilakukan oleh partai politik hanya dilakukan secara internal berdasarkan hirarki kepengurusan dengan tanpa melibatkan rakyat secara
luas, bahkan tidak kurang partai politik yang calonnya hanya ditentukan oleh segelintir elite partai yang bersangkutan.

Belajar dari pengalaman pilkada yang telah terlaksana di berbagai daerah menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan figure ketua parpol-lah yang akan diusung sebagai calon kepala daerah dari parpol tersebut. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini terdapat tujuan lain bagi sebagian aktivis yang berkecimpung dalam parpol yakni untuk mendapatkan “individual benefit” baik dari aspek ekonomi atau social status ataupun sekedar popularitas.

Saat ini masih banyak orang yang masih menjadikan politik sebagai tumpuan karir, Sehingga kalaupun partai memandang individual benefit tersebut harus diserahkan kepada orang lain tentunya harus ada “kompensasi yang sepadan”. Hal inilah yang dapat
menghambat kader-kader partai yang walaupun dirinya senada dengan suara mayoritas atau yang sangat dikehendaki telah terambil kesempatannya. Padahal seharusnya secara ideal, dalam proses pemilihan kepala daerah yang dipertaruhkan ialah pandangan dan visi
perorangan, pengabdian ke rakyat, ketokohan, jejak rekam serta pribadi sang calon bukan hanya sekedar dari latar belakang kepartaiannya saja, ataupun karena strategi partai saja, apalagi hal itu hanya ditentukan oleh beberapa elit politik saja.

Faktor lain yang potensial menjadi batu sandungan adalah fenomena candidacy buying. bahkan kalau mau jujur, hal ini sangat vulgar terindikasi dalam pemilihan kepala daerah. Kecenderungan pejabat lama dan pengusaha merapat ke partai untuk mendominasi
pencalonan kepala daerah, mungkin ini perlu dicermati karena ada pengaburan didalam demokrasi. Dan hal itu akan menimbulkan problem representasi politik yang makin buruk dalam sistem demokrasi kita.

Politik membutuhkan dana yang besar untuk menghidupi organisasi partai dan kampanye, yang tendensi keduanya sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku.
Di negara-negara Amerika Utara, dana politik lebih diorientasikan untuk kampanye (campaign oriented) ketimbang pada partai (party oriented). Sementara di
negara-negara Eropa Barat, dana politik lebih diperuntukan bagi pendanaan partai (party financing). Karena di eropa kampanye lebih didominasi oleh partai, sedangkan di Amerika Utara oleh kandidat. Atau dalam sistem parlementer memberi tekanan pada pembiayaan partai politik, sedang sistem presidentil lebih mengutamakan kandidat yang berperan dalam kampanye pemenangan pemilu (Nassmacher, 2001).

Dalam sistem pemilihan proporsional (party base), seperti pemilu pada era Orde Baru, memberi peran yang sangat besar kepada partai untuk mengumpulkan dana.
Sebaliknya dalam sistem pluratitas-mayoritas (candidate base), kebutuhan dana lebih pada kampanye kandidat yang dilakukan oleh kandidat sendiri. Dalam sistem campuran seperti sekarang ini, calon kepala daerah memerlukan dana besar untuk kampanye dirinya
dan mendukung kampanye partainya.

Masalahnya hampir semua partai politik, apalagi yang masih muda, belum memiliki fondasi keuangan dari dalam dalam anggota, suatu indikasi dukungan yang lemah
terhadap partai. Masalah yang lain, semakin hari semakin terang jabatan-jabatan politik atau public adalah tujuan pamungkas hasrat “kekuasaan ekonomi dan politik” dari mereka yang mengincarnya. Dan konstituen partai lebih mengharapkan timbal balik dari
politisi yang terpilih berupa sedekah langsung daripada produk kebijakan umum yang baik untuk kesejahteraan bersama

Akhirnya, di tengah realitas demokrasi internal yang buruk, atau tiadanya pemilu internal partai, jelas penentuan kandidat partai itu bukan ditentukan oleh suatu proses kompetisi yang didasarkan pada uji kompetensi, kualitas pribadi, integritas, atau rekognisi konstituen, tapi mayoritas karena kedekatan dengan pemuka partai, loyalitas dan jumlah setoran ke kas partai. Konvensi internal partai….Masihkah kita bisa berharap..?


Tulisan ini pernah dimuat di halaman opini Radar Mojokerto

Tidak ada komentar: