Minggu, 27 Januari 2008

Dua SMS Saat Kematian Soeharto


Dua SMS Saat Kematian Soeharto

Tepat pukul 14.30 WIB, tanggal 27 Januari 2008 kemarin, hand phone saya bergetar. Sebuah pesan singkat dari kawan lama saya tampak di layar. Kata-kata Innalillahi wa inna ilaihi rojiun menjadi pembuka pesan itu Oh, sebuah kabar duka rupanya.. Kawan lama saya yang kini tinggal di Jakarta itu mengabarkan bahwasannya mantan Presiden Soeharto telah meninggal dunia di RSPP.

Meski demikian, tidak ada kekagetan dalam diri saya. Sebab, mantan orang kuat pada zaman orba itu sudah lama di dera sakit. Ditambah lagi dengan usianya yang sudah udzur, 87 tahun. Selama 87 tahun menjalani hidup, 32 tahun diantaranya ia habiskan untuk memegang kekuasaan. Sebuah angka yang cukup fantastis dalam memegang jabatan Presiden.

Secara tiba-tiba pikiran saya teringat pada seorang aktivis era 90-an yang bernama Tri Agus S Siswowihardjo. Ia ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan menghina presiden terkait kasus pembredelan tiga media massa, Tempo, Editor, dan Detak. Meski demikian, hal itu tidak pernah menyurutkan niatnya untuk merobohkan tirani yang dibangun rezim Soeharto. Praktis, aktivitasnya tidak jarang harus berakhir di rutan Salemba.

Namun hal itu semakin menambah lantang teriakannya dalam mengabarkan kebenaran dan keadilan. Hal itu terlihat jelas dalam pledoi yang di bacakan oleh mahasiswa IKIP Jakarta ini di depan Pengadilan Negeri Jakarta. Dalam pembelaan itu, Tri Agus mengatakan, bahwasannya apa yang dilakukan oleh Soeharto dengan memenjarakannya adalah suatu hal yang sia-sia, tidak produktif dan tidak popular.

Menurut Tri Agus, dengan mengurungnya selama 4 tahun hanya karena tuduhan menghina presiden adalah sebuah ironi. Betapa tidak, disaat keterbukaan di gembar-gemborkan, disaat pesta akbar di rayakan, ternyata ada beberapa anak negeri yang mencintai bangsanya dengan keyakinan politiknya, justru dipenjara. “Penjara tak kan membuat kami jera. Karena terali besi tak akan bisa merubah se-ekor rajawali menjadi nuri,” demikian tulisnya.

Mahasiswa IKIP Jakarta jurusan PMP ini di adili pada tahun 1995. Tahun itu di anggap istimewa oleh kalangan aktivis. Bagaimana tidak, tahun 1995, selain 50 tahun HUT Proklamasi kemerdekaan, juga bertepatan dengan kekuasaan Soeharto berusia 30 tahun, dan 20 tahun penyerangan dan pendudukan Indonesia atas Timor Leste.

Sekali lagi, meski di depan persidangan, Tri Agus tak berhenti menghujat Soeharto. Ia mengaku, sebenarnya sudah akrab dengan Soeharto. Kalau orang-orang mungkin bangga diundang Soeharto di cendana untuk mengikuti acara ulang tahun setiap tgl 8 Juni, entah sampai kapan. Tapi tidak bagi dia.

Bahkan ia juga mengaku, pihaknya dan aktivis pro-demokrasi di IKIP Jakarta pernah 2 kali (tahun 1991 dan 1992) menyelenggarakan acara ulang tahun Soehartoyang lahir di Godean, Yogyakarta pada tahun 1921 itu.

Dalam acara tersebut, pria berambut gondrong ini mengundang sekitar 90 orang yang namanya Soeharto. Tri Agus sengaja mengundang Soeharto-Soeharto itu lewat surat yang alamatnya di dapatkan dari buku telpon. Dari separuh yang datang pada umumnya mereka orang Jawa dan bekerja di swasta. Ada juga purnawirawan ABRI dan seorang dokter. Ia sempat berdialog dengan mereka. “Ada yang menyesal mempuyai nama Soeharto, tentu saja ada juga yang bangga,” katanya.

Ia mencontohkan, ketika terjadi pembantaian dilapangan Tian Nan Men yang dilakukan Li Peng atas gerakan pro-demokrasi di China, kemudian terjadi penggantian puluhan nama Li Peng di Hongkong sebagai protes terhadap keberadaan Li Peng.

Menurutnya, para Soeharto-Soeharto disini memang tak mengganti nama beramai-ramai. Namun ketika Soeharto tak semakin terkontrol dalam menjalankan pemerintahan disini. Ketika sentralisasi kekuasaan di tangan satu orang, dan kemudian melahirkan tindakan sewenang-wenang, maka meraka malu mempunyai nama Soeharto.

Berbagai kekecewaan ternyata tak hanya diakui dan dirasakan oleh Soeharto-Soeharto tadi. Melainkan seluruh rakyat yang mendambakan perubahan baik politik maupun ekonomi. Lamanya memerintah Republik ini menimbulkan kebosanan baik terhadap sistem yang semakin personal maupun terhadap Soeharto sendiri.

Bukan hal yang aneh, lanjut Tri Agus, jika ada idiom yang mengatakan: “Tidak benar Soeharto ingin menjadi presiden seumur hidup. Yang benar Ia ingin menjadi presiden sampai mati”. Dan kalau ada pertanyaan mengapa presiden tak ganti-ganti? Bagaimana bisa diganti kalau persyaratannya berat yaitu: 1) Ia harus orang Islam, 2) Dari ABRI, 3) Dari Jawa, dan yang paling penting, 4) Berpengalaman menjadi presiden. Tak heran pula banyak orang senang dengan humor seperti ini.

********************
Lamunan saya tentang aktivis era 90-an itu mendadak buyar seiring dengan hand phone saya kembali bergetar. Tema yang disampaikan dalam pesan singkat itu sama dengan yang pertama. Namun, kali ini pengirimnya adalah kawan saya seorang wartawan. Titik tekan yang dikabarkan bukan kematian Soeharto. Kawan saya itu lebih mengulas misteri angka 2 dan 3 dalam kematian mantan orang kuat ini.

“Soeharto meninggal tidak jauh dari angka 2 dan 3. Selama sakit dirawat di RSPP selama 23 hari. Kemudian meninggal pada pukul 13.10, jika di jumlah 13+10= 23. Dan dia berkuasa selama 32 tahun. Iya kan?,” demikian bunyi pesan itu.

Kontan dahi saya berkerut, atak saya berpikir, dan akhirnya muncul kesimpulan, bahwasannya mantan orang kuat orde baru ini memang fenomenal. Baik waktu dia berkuasa maupun waktu sakit. Bahkan, pada saat meninggal-pun tetap memunculkan fenomena serta menarik untuk dibicarakan dari berbagai sudut pandang. Bagaimana dengan anda? (yusuf wibi)

Tidak ada komentar: