Minggu, 29 Juli 2007

Demokrasi 'Kucing garong'



RefleksiPelaksanaan Pilkades Serentak di Kabupaten Jombang 

Pesta itu baru saja usai. Layaknya sebuah pesta, ia meninggalkan suka cita sekaligus duka cita yang teramat dalam. Bagaimana tidak, mereka yang sanggup merebut kemenangan dalam pesta itu bersorak dan bertepuk dada kegirangan. Tapi bagaimana dengan yang ditimpa kekalahan? Kita sudah dapat menduga, mereka akan menampakkan wajah yang tertunduk lesu, bahkan bukan mustahil akan mucul rasa dendam. Ternyata bukan hal yang mudah untuk menerima dengan lapang dada makna sebuah kekalahan. “Namun itu semua demi tegaknya demokrasi yang telah lama kita perjuangkan. Minimal akan ada pembelajaran di tingkat massa rakyat tentang proses berdemokrasi,” tutur salah seorang kawan dalam diskusi non formal diberanda rumah sembari mengepulkan asap rokoknya.

Kata-kata itu secara tidak sengaja membekas dalam benak pikiran saya. Entah mengapa selalu demokrasi yang dijadikan kambing hitam. Seandainya demokrasi itu punya nyawa saya yakin ia akan protes karena selalu dijadikan kambing hitam, bahkan lebih naif lagi jika demokrasi itu hitam sebelum menjadi kambing, ia pasti akan berontak. Atau bisa jadi demokrasi akan capek karena selalu dijadikan pembelajaran oleh bangsa ini. Padahal, demokrasi lahir jauh sebelum lahirnya bangsa ini. Sejak zaman Yunani ia dilahirkan, namun hingga era saat ini ia hanya dijadikan media pembelajaran.

Secara tidak sengaja pula muncul dalam benak pikiran saya bahwasanya demokrasi tidak sekerdil itu. Demokrasi bukan hanya bagaimana kita memilih seorang pemimpin secara langsung dengan prinsip one man one vote. Entah itu seorang Kepala Desa, Bupati, Gubernur, bahkan seorang Presiden sekalipun. Demokrasi juga bukan seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus menyediakan segudang pundi-pundi rupiah untuk diberikan kepada para pemilih.

Pemilihan kepala desa (pilkades) konon dianggap sebagai sirkuit demokrasi yang paling nyata di desa. Dalam arena itu terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat, serta pemilihan secara langsung. Tetapi harus jujur kita akui, dalam banyak kasus, pilkades yang berlangsung secara ‘demokratis’ sering harus dibayar dengan risiko politik yang sangat mahal. Kekerasan membuncah ketika kubu calon kades yang kalah melampiaskan kekecewaannya. Buntutnya adalah dendam pribadi yang terus dibawa, serta ‘perang dingin’ antar pendukung yang sebenarnya mereka saling bertetangga.

“Kekerasan pasca pilkades terjadi bukan karena resiko dari demokrasi, melainkan karena warga kurang memahami demokrasi,” kembali kata-kata kawan saya yang juga seorang aktivis partai itu berdengung di telinga. Secara tidak langsung jawaban itu sangat logis. Dalam kerangka normatif, kubu yang menabur kekerasan tersebut tidak bisa menerima kekalahan, atau tidak sportif.

Saya berkeyakinan bahwasannya kekerasan tentu tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Kekerasan tidak dilahirkan dari rahim demokrasi. Justru sebaliknya, demokrasi merupakan cara untuk mengatasi kekerasan. Sehingga tercipta tatanan masyarakat yang adil secara sosial, merata secara ekonomi, dan partisipatif secara politik.

Selain problem sosial, uang juga menjadi masalah tersendiri dalam pilkades, apalagi di desa-desa yang sangat ‘basah’. Setiap calon kades pasti mengeluarkan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit. Minimal, sekitar dua bulan penuh, calon kades harus merogoh koceknya untuk jamuan, uang makan, rokok, bensin, bayar dukun, dan lain-lain. Tragisnya hal itu dianggap sebagai kewajaran.

Bentuk uang lainnya yang kotor adalah praktek politik uang yang dikeluarkan oleh calon kades untuk membeli suara pemilih. Politik uang ini bukan fenomena asing lagi karena terjadi di banyak desa menggelar pilkades. Karena uang memegang peran penting dalam proses pilkades. Akibatnya, ketika seorang calon sudah terpilih menjadi kepala desa, maka dalam melaksanakan jabatannya ia akan bermetamorfosa menjadi ‘tukang palak’. Bagaimana tidak, uang yang sudah dikeluarkan untuk biaya pilkades oleh calon dianggap sebagai investasi. Praktis, ketika dirinya menjabat sebagai kades, ia akan berusaha dengan segaala cara untuk mengembalikan investasinya, tak peduli dengan cara menggarong sekalipun.

Itulah fenomena yang baru saja tergurat di Kabupaten Jombang Jawa Timur. Pesta ‘demokrasi’ ditingkat desa telah digelar secara serentak pada 22 Juli 2007 lalu. Tidak tanggung-tanggung sebanyak 286 Desa disibukkan oleh hajatan tersebut. Gayungpun bersambut, tercatat 1058 calon Kepala Desa dengan berbagai alasan menceburkan diri dalam pertarungan tersebut. Yang pasti dari jumlah itu telah mengerucut menjadi 286 orang. “Jika terpilih menjadi Kepala Desa, saya akan memajukan desa serta mengutamakan kepentingan masyarakat,” kata salah satu calon ketika memaparkan visi-misinya.

Dalam segi keamanan, aparat kepolisian baik dari Polres Jombang, Polwil Bojonegoro serta Polda Jatim diterjunkan. Karena sangat memalukan jika moment yang pertama digelar dikota santri ini berakhir dengan kerusuhan. Pucuk dicinta ulampun tiba. Tidak ada gejolak yang berarti, tidak ada sebutir pelurupun yang dimuntahkan. Meski demikian, bukan berarti pilkades di Jombang bebas dari problem sosial.

Sehari setelah pelaksanaan pilkades muncul pemberitaan di media massa yang membuat kening kita berkerut. Mulai dari gedung wakil rakyat dibanjiri pengaduan seputar kecurangan dalam pilkades, aksi penyegelan balai desa oleh sekelompok warga, aksi perusakan rumah seorang pendukung calon, hingga aksi nekat bunuh diri yang dilakukan seorang pendukung gara-gara calonnya kalah. “Saya sangat kecewa dengan hasil pilkades. Sudah habis sekitar Rp 300 Juta, ternyata calon saya kalah dalam pemilihan,” ungkap salah seseorang pendukung seusai mengadukan kecurangan pilkades di desanya ke DPRD setempat.

Apakah demokrasi harus dibayar semahal itu? Mulai dari kompleknya problem sosial hingga dihambur-hamburkannya materi. Saya sependapat dengan makalah yang pernah ditulis oleh Sutoro Eko dari Institute for Research and Empowerment (IRE) Sleman Yogyakarta. Bahwasannya demokrasi adalah cara atau seni “pergaulan hidup” untuk mencapai kebaikan bersama. Namun sayangnya, banyak orang memahami bahwa prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan individu. Untuk itu pihaknya menolak tegas pandangan kerdil tersebut. Prinsip dasar demokrasi, dalam pandangan Eko, adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak.

Senada dengan Sutoro Eko saya berkesimpulan, bahwasannya demokrasi bukan berarti kebebasan individu. Namun lebih mulia dari itu. Ia mampu menciptakan tatanan hidup dalam masyarakat. Jika demokrasi hanya melahirkan kekerasan dan problem sosial maka ‘demokrasi’ tak ubahnya seperti ‘kucing garong’.
Disini……………………

Tidak ada komentar: